JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendesak Bank Indonesia (BI), pemerintah, dan DPR untuk mulai memberikan perhatian ekstra atas urgensi Protokol Penanggulangan Krisis (PPK) Sektor Keuangan.
Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Bambang Soesatyo mengatakan, peningkatan kewaspadaan sektor keuangan nasional saat ini tak boleh diawar-tawar lagi. Sebab, potensi amuk badai krisis sektor ini bisa muncul tiba-tiba, tanpa mudah diantisipasi sebelumnya.
Mengutip analisis Direktur Kebijakan Pembangunan dan Divisi Analisis Departemen Ekonomi PBB Rob Vos, Bambang menuturkan, perekonomian dunia sedang menuju jurang penurunan dan diperkirakan hanya akan tumbuh 1,8 persen sepanjang tahun 2008. Sementara harga minyak dunia pada Jumat 16 Mei akhir pekan lalu di London kembali mencapai rekor baru, USD127,43 per barrel.
"Karena itu, tidak bijaksana jika Pemerintah dan DPR menyerahkan seluruh potensi beban penanggulangan krisis hanya kepada Otoritas moneter. Sebab, PPK atau Crisis Management Protocol (CMP) sektor keuangan bukan hanya butuh payung hukum, melainkan juga harus didukung oleh Keputusan politik dan undang-undang (UU). Dan, wewenang keputusan politik serta UU itu ada di pemerintah dan DPR," ujar Bambang dalam percakapannya di Jakarta pagi ini, Minggu (18/5/2008).
Menurut Bambang, tanpa keputusan politik dan UU, PPK sektor keuangan akan powerless sehingga sulit berkoordinasi, tidak leluasa bekerja, dan tak sigap mengambil keputusan. Oleh Karena memayungi PPK sektor keuangan dengan sebuah UU baru akan makan waktu lama, Kadin menyarankan pemerintah dan DPR segera mencari jalan keluar. Misalnya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai landasan operasional PPK sektor keuangan.
"Tidak bermaksud menakuti-nakuti. Yang ingin ditekankan Kadin adalah kita harus siap sejak dini untuk menghadapi kemungkinan terburuk," kata dia.
Bambang menuturkan, krisis moneter 1998 meninggalkan kerusakan sangat parah pada semua sendi perekonomian nasional. Kehancuran itu sulit dihindari karena Indonesia tak pernah bersiap menghadapi amuk badai krisis serta lambat dalam penanganan.
"Dan itu jangan terulang kembali," tekan dia.
Hingga akhir pekan lalu, indikator eksternal mengisyaratkan potensi krisis ekonomi global belum bisa dikurangi. Harga minyak menyentuh level USD127,43 per barel. Pengendalian harga pangan belum efektif. Distribusi pangan di tingkat global mungkin saja terganggu, karena beberapa negara, termasuk India, sudah menutup kran ekspor. Di Asia Tenggara, hanya Thailand yang masih membuka kran ekspor.
"Yang patut dipertanyakan adalah berapa besar stok pangan Indonesia? Bagaimana kesiapan dalam 3 bulan mendatang dimana banyak negara diperkirakan akan menutup rapat-rapat kran ekspornya utk menjaga ketahanan pangan dalam negerinya," beber dia.
Bambang mengakui, pekan lalu Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan bahwa bagian terburuk dari ancaman resesi dan gejolak sektor keuangan global sudah terlewati. Kalaupun IMF benar, Indonesia tetap tidak boleh lengah. Apalagi, BI sudah memperkirakan Indeks stabilitas keuangan akan capai level 1,34 per Juni 2008. Jika indeks stabilitas keuangan mendekati level 2, itu pertanda bahaya.
"Itulah pentingnya Pemerintah, DPR dan Otoritas Moneter segera melakukan langkah cepat dan urgen menerbitkan payung hukum bagi protokol penanggulangan krisis," tandasnya.
(Nurfajri Budi Nugroho)