JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat (AS) diprediksi masih sulit menguat. Rupiah, masih akan tertekan dan berada di level Rp9.435-Rp9.475 per USD.
"Pelemahan ini dipengaruhi oleh pesimistis pasar akan hasil KTT UE pada 28-29 Juni, yang membawa keterpurukan pada EUR selama sepekan ini, dan diyakini tidak akan meredam krisis Yunani," kata analis valas, Rahadyo Anggoro, di Jakarta, Jumat (29/6/2012).
Menurutnya, hal ini dibuktikan adanya permasalahan menjelang KTT UE tersebut seperti permintaan dana talangan perbankan oleh Spanyol. Selain itu, kanselir Jerman, Angela Merkel, secara tegas telah menolak wacana penerbitan obligasi bersama untuk percepatan integrasi Eropa dan meredakan krisis utang.
"Merkel juga mengatakan Eurobond bertentangan dengan konstitusi Jerman dan tidak produktif dari sisi ekonomi. Di sisi lain, Merkel setuju dengan usulan negara zona Euro lainnya untuk mempercepat integrasi namun Merkel menolak gagasan kalau Jerman harus menanggung semua biaya," terangnya.
Rahadyo menambahkan, pergerakan pasar hari ini kemungkinan akan dipengaruhi oleh rilis data ekonomi seperti Current Account England, Italian 10 Year Bond Auction dan Unemployment Claims US serta hasil KTT UE.
Pada perdagangan sore kemarin, rupiah ditutup stagnan, kondisi ini terjadi karena pelaku pasar masih bersikap wait and see dalam mengambil posisi dan masih menjadikan USD sebagai safe haven.
Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dalam beberapa pekan terakhir dapat berpotensi mendongkrak laju inflasi, terutama dalam imported inflation karena terdongkraknya harga barang-barang impor. "Namun BI optimis inflasi masih pada kisaran 4.5 persen karena harga komoditas baik energi maupun pangan yang cenderung bergerak turun," tukas dia.
(Martin Bagya Kertiyasa)