Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pembangunan Lancar, Bencana Menjalar

Nur Januarita Benu , Jurnalis-Senin, 03 September 2012 |15:33 WIB
Pembangunan Lancar, Bencana Menjalar
Potret Pengkaplingan Pesisir Teluk Jakarta (Foto: Dok. KIARA)
A
A
A

JAKARTA - Maraknya pembangunan di ibu kota negara, bukanlah hal mutlak perbaikan kehidupan dan lingkungan. Justru sebaliknya, bencana semakin sering terjadi dan kesenjangan ekonomi semakin melebar.

Para ahli menilai, buruknya perencanaan tata ruang dan rendahnya perhatian pemerintah sedari awal terhadap kawasan konservasi telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Ditambah dengan model pembangunan yang boros lahan menjadi faktor semakin sesatnya pembangunan Jakarta.
 
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik mengatakan, alih fungsi lahan dan penguasaan lahan hutan mangrove di Jakarta dimulai di era 1980-an.

"Sejak peresmian Bandara Soekarno Hatta pada 1985 dan beroperasinya jalan tol Sedyatmo di 1984 secara masif telah terjadi alih fungsi lahan hijau (hutan mangrove). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui BPLHD menyatakan bahwa 1.134 hektare (ha) hutan mangrove di Jakarta Raya pada 1960 hanya tersisa 233 ha di 2003," katanya dalam konferensi pers Koreksi Pengelolan Pesisir, Jakarta, Senin (3/9/2012).

Menurutnya, hal ini terjadi akibat kebijakan pemerintah DKI Jakarta di 1984 yang melepas kawasan hutan Angke Kapuk seluas 831.63 ha untuk dialihfungsikan sebagai kawasan perumahan, lapangan golf, kondominium, dan fasilitas lainnya.

"Padahal sesuai dengan RUTR 1985-2005 dan master plan bahwa kawasan tersebut sebagai hutan lindung dan hutan wisata, sekaligus mencegah banjir di bandara Soekarno Hatta. Ironisnya, fakta terakhir menyebutkan hanya menyisakan 45 ha yang terbagi dalam dua lokasi, yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke seluas 15 ha dan Green Belt Hutan Lindung seluas 30 ha," ungkapnya.

Tidak berhenti di situ, lanjutnya di periode tahun-tahun selanjutnya, kawasan lahan basah (wetland) lainnya, seperti Pluit, Ancol, Cilincing, Marunda hingga Tanjung Karawang juga berubah fungsi menjadi kawasan komersial, industri, pemukiman, wisata, perluasan pelabuhan atau sekadar menjadi kawasan kritis karena ditelantarkan dan rusak. Terakhir pada 2008 pemerintah kembali membabat hutan mangrove seluas 19 ha guna pelebaran dan peninggian jalan tol Sedyatmo.
 
"Rentetan keluarnya kebijakan alih fungsi lahan dan peruntukan lahan pesisir untuk kegiatan industri dan properti tersebut telah berdampak terhadap menurunnya daya dukung lingkungan, khususnya ekosistem yang memicu bencana ekologis yang lebih masif," imbuh Riza.

Banjir akibat curah hujan tinggi maupun banjir rob sering terjadi di kawasan utara Jakarta. Putusnya jaringan jalan tol menuju bandara akibat banjir besar telah terjadi lima kali sejak 1992 hingga 2008. Banjir rob terus terjadi secara intensif sejak 2004, dan hingga 2010 sedikitnya ada 27 titik kawasan yang terkena banjir rob di Jakarta.

"Tak hanya itu, beban pembangunan yang boros lahan tersebut juga memicu rusaknya sistem tata air di Jakarta Utara yang berimplikasi pada krisis air bersih. Ditandai dengan adanya intrusi air asin dan laju penurunan muka tanah di Jakarta Utara sejak 1985-2010 mencapai -2,65 meter di Cilincing hingga -4,866 meter di Penjaringan akibat penyedotan air bawah tanah," katanya.

(Nur Januarita Benu)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement