“Harus dikaji lagi karena khawatir jika Pertalite bisa menambah impor minyak Indonesia mengingat kilang dalam negeri belum bisa membuat RON 88 ke RON 90,” kata anggota Komisi VII, Satya Widya Yudha kepada media, Selasa (21/4/2015).
Menurutnya, meski pemerintah berkilah bahwa perubahan RON itu hanya menambah zat adiktif saja tapi penyesuaian teknis seperti pembaharuan kilang harus tetap dilakukan.
Satya juga mengingatkan agar mekanisme harga tidak boleh dilepas dalam mekanisme pasar karena cenderung akan merugikan masyarakat. “Sesuai amanah konstitusi, negara harus mengendalikan kebutuhan pokok masyarakat. Itu kewajiban pokok negara, “ kata Satya yang berasal dari fraksi Golongan Karya (Golkar) ini.
Dia juga mengingatkan pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi yang cukup soal rencana ini. Senada dengan itu, aktivis antikorupsi dan kritikus kebijakan pemerintah, Uchok Sky Khadafi mengatakan bahwa soal kebijakan Pertalite, pemerintah harus bisa menjelaskan di kilang mana saja pengolahan Pertalite dilakukan. “Jika tidak, tiba-tiba kita mendapati impor Indonesia naik,” ujarnya.
Dia mencontohkan jenis Pertamax di proses di kilang Plaju dan Balongan. “ Jadi Pertalite harus bisa dijelaskan dibuat di mana saja. Jangan hanya bisa bilang premium diganti Pertalite tanpa bisa membuktikan,” kata Uchok. Jika ini terjadi, menurutnya sama saja dengan memasukkan mafia baru.
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) dalam waktu dekat akan meluncurkan bahan bakar minyak (BBM) jenis baru dengan kandungan oktan 90 yang diberi nama Pertalite. Varian BBM yang kini tengah dalam masa pengujian itu diharapkan bisa memberikan alternatif pilihan BBM dengan kualitas lebih baik kepada masyarakat, meski dengan harga lebih mahal.
(Widi Agustian)