Penanganan banjir yang ideal adalah menetapkan RTRW Semarang sesuai dengan teori air yang benar. Daerah imbuhan jangan dijadikan sebagai daerah budi daya. “Di daerah imbuhan jangan dijadikan kawasan budi daya, jangan dibangun perumahan, bangunlah hutan-hutan, tapi yang daerah lepasan air tanah (Semarang bawah) silakan jadi permukiman, silakan dibangun, ditransisi juga bisa dibangun. Jadi ubah dulu RTRW sesuaikan dengan kaidah aliran air secara hidrologis, karena belum memperhitungkan ini,” tandasnya.
Saat ini air laut lebih tinggi dari tanah di beberapa lokasi Kota Semarang, khususnya Semarang bagian Utara dan Timur. Penurunan muka tanah terparah terjadi di daerah yang selama ini langganan banjir, yakni Kaligawe, Genuk, dan sekitarnya yang mencapai 11 cm per tahun.
Pihaknya mengaku sudah berkali-kali meminta pemerintah Kota Semarang mengubah konsep penanganan rob dan banjirdari sistemgravitasi, yakni mengalirkan air dari atas ke bawah dengan konsep pengembangan Kota Tepi Air (waterfront). Menurut dia, kondisi Semarang yang lebih rendah dari laut memaksa masyarakat harus hidup berdampingan dengan air, bukan menghindarinya. Ketua DPRD Kota Semarang HA Supriyadi mengatakan, pemkot harus segera menangani rob agar tidak mengganggu arus mudik dan balik Lebaran nanti.
Sebab, Jalan Kaligawe merupakan jalur utama arus mudik di jalur pantura yang akan dilewati ribuan kendaraan. Penanganan banjir dan rob ini harus menjadi prioritas utama. Beberapa program normalisasi sungai seperti Kali Beringin, Kali Tenggang,, dan lainnya yang masih terkendala pembebasan lahan diharapkan segera diselesaikan. Termasuk rencana normalisasi sungai Banjirkanal Timur yang akan signifikan mengurangi rob di Semarang.
(Rizkie Fauzian)