JAKARTA – Penganan ayam goreng tepung ala western alias fried chicken sudah lama akrab di lidah masyarakat Indonesia. Waralaba restoran fried chicken asing juga telah menjamur di Tanah Air sejak puluhan tahun silam.
Namun di tengah maraknya bendera restoran cepat saji fried chicken asing, ternyata terselip satu nama milik anak bangsa yang sudah lama bermain di ranah bisnis ini yakni Quick Chicken. Merek ini juga cukup dikenal masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sang pemilik, Bedi Zubaedi, mengisahkan bahwa Quick Chicken berdiri tepat pada 22 April 2000. Kala itu bisnis fried chicken sepenuhnya dikuasai waralaba asing. Sehingga, bisa dibilang Quick Chicken menjadi pionir bagi bisnis fried chicke lokal.
Bedi yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di bidang juru masak mengungkapkan memang sejak awal lulus kuliah dirinya memiliki cita-cita ingin menjadi pebisnis kuliner. Namun ketika lulus kuliah pada akhir 1980-an, belum ada pebisnis Indonesia yang sukses mendirikan restoran.
"Dulu kuliah jurusannya masakan Eropa. Tapi setelah lulus bingung mau bikin resto Eropa belum laku. Restoran zaman dulu itu kan cuma ada di hotel-hotel bagus," kisahnya saat berbincang-bincang dengan Okezone di Jakarta.
Alhasil ketika lulus, dirinya memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu di beberapa restoran kenamaan, termasuk salah satu restoran Korea. Bisa dibilang sudah cukup kenyang pengalaman Bedi bekerja sebagi chef.
Kemudian pada 1987, Bedi mendapat tawaran bekerja di salah satu restoran cepat saji fried chicken asal Amerika Serikat (AS) California Pioneer Chicken. Ia pun sempat ragu menerima tawaran itu karena masih awam tentang sistem bisnis waralaba. Namun lantaran haus akan pengalaman, Bedi akhirnya menerima tawaran tersebut.
"Saat itu saya belajar tentang sistem waralaba. Dari situ juga saya pindah-pindah bekerja di restoran fried chicken. Saya pindah ke CFC (California Fried Chicken), kemudian ke Wendy's, terus balik lagi ke CFC," ungkapnya.
Cukup lama Bedi bekerja di salah satu restoran fried chicken. Bahkan, kariernya memuncak hingga menduduki kursi direksi. Namun pada akhir 1990-an rasa jenuh mulai menghantuinya. Cita-cita sebelumnya untuk menjadi pebisnis muncul lagi.
"Pada 2000, posisi saya sudah cukup bagus, tapi saya mengundurkan diri. Tapi itu prosesnya tidak gampang, saya izin istri dan dua anak saya. Dapat izin. Tapi ketika izin ke kedua orangtua, bapak tanya: ‘Apa sudah dipertimbangkan? Karena ini resikonya tinggi’. Ibu malah tidak diterima. Malah dibilang tidak bersyukur karena saya sudah dapat jabatan tinggi," tuturnya.