JAKARTA - Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman kembali menggelar rapat proses penyelesaian pembangunan kereta api ringan (Light Rapid Transit/LRT) Jabodebek. Dalam rapat kali ini ditampilkan hasil kajian dari konsultan bisnis, Price Waterhouse Coopers (PWC).
Usai melakukan rapat, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, hari ini semua stakeholder terkait pembangunan LRT Jabodebek hadir mulai dari KAI, Bank, SMI hingga PWC.
"Jadi kita bahas beberapa hal, satu hal yang ingin kita mau waktunya tetap dan kita akan meneiliti visibilitas proyek ini, dan asumsi-asumsi yang pasti," jelas Budi di kantor Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, Jakarta, Senin (31/7/2017).
Lanjut Budi, lembaga profesional PWC dalam rapat menampilkan suatu kajian-kajian yang detail dan memberikan satu catatan-catatan yang baik untuk kita pelajari. Tadi apa yang disampaikan sudah cukup jelas seperti angka nilai investasi dan kondisi lapangan yang dijabarkan secara transparan.
"Artinya dengan PWC masuk dalam pihak yang masuk dalam kajian proyek ini maka kita lihat ada potensi besar bahwasanya industri kereta api itu tidak saja harus dikuasai negara tapi swasta juga," tuturnya.
Dari angka-angka yang dipaparkan, mantan Direktur Utama Angkasa Pura II ini mengatakan, terlihat ada suatu asumsi yang cukup realistis terkait tarif kereta api. Angka Rp12.000 untuk sekali perjalanan menjadi angka wajar dengan pemberian subsidi di dalamnya.
Tapi, sambung Budi, angka subsidi sebesar Rp16 triliun dalam 12 tahun tersebut tentu pada akhirnya bisa turun dengan bertambahnya jumlah penumpang. Di mana asumsinya, penumpang sebanyak 116.000, pertumbuhan 5% per tahun dengan tarif Rp12.000. Artinya ketika pertumbuhan bisa naik di atas 5% maka subsidi turun.
"Jadi bahwa subsidi akan hilang apabila itu bisa dilakukan, ada harapan juga dalam diskusi dipikirkan swasta dilibatkan lebih banyak sehingga TOD itu nanti akan dibuat semacam TOR dan kita akan lelang pada swasta, tidak dikerjakan KAI," tukasnya.
(Dani Jumadil Akhir)