JAKARTA - Indonesia masih mengalami defisit tembakau, baik secara kualitas, kuantitas, dan varietas. Akibatnya, impor 'emas hijau' masih dibutuhkan oleh industri, terutama varietas yang tidak dapat dibudidayakan di dalam negeri, seperti tembakau Virginia dan Oriental. Oleh karena itu, wacana pembatasan impor di tengah defisit tembakau dinilai tidak tepat dan mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, alih-alih pembatasan impor tembakau, pemerintah sebenarnya dapat menetapkan kebijakan bea masuk yang sedikit lebih tinggi terhadap varietas yang tidak dapat dibudidayakan ataupun varietas yang jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.
"Bea masuk bisa menjadi solusi," ujar Moeftie di Jakarta.
Terkait besarannya, dia meminta angkanya haruslah wajar. Dengan adanya kebijakan ini, industri masih tetap memiliki akses terhadap bahan baku. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata produksi tembakau di dalam negeri selalu di bawah 200.000 ton per tahun. Sementara, permintaan tembakau berkisar 320.000 ton per tahun.
Baca juga: