JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) konsen menyoroti keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan tarif maksimum pengisian saldo (top up) uang elektronik (e-money).
Pasalnya, setelah mewajibkan penggunaan uang elektronik (e-toll) di gerbang tol otomatis (GTO), kini Bank Indonesia (BI) mengeluarkan aturan soal tarif pengisian saldo e-money yang dianggap disinsentif.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, pihaknya telah menerima pengaduan terkait antrean yang terjadi di GTO yang mana transaksinya menggunakan uang elektronik.
"Sudah banyak (aduan), karena ternyata memang Jasa Marga salah menginformasikan atau mengiklankan soal efektivitas GTO. Waktu itu dipromosikan ini akan atasi kemacetan padahal sangat tidak," jelasnya ketika ditemui di kantornya, Jumat (22/9/2017).
Baca Juga: BPKN: Bagaimana Mungkin Transaksi Rupiah Ditiadakan? Itu Melawan Hukum!
Menurutnya, penerapan e-toll tidak berpengaruh banyak dalam mengurangi kemacetan di tol. Pasalnya, permasalahan kemacetan di tol bukan sekadar di pintu masuk tol saja. Jadi, transaksi tol dengan e-toll yang diklaim akan meminimalkan penumpukan kendaraan di pintu tol tak benar-benar efektif.
"Karena antara volume traffic yang ada itu sudah jauh lebih parah dibandingkan hanya masalah antrean di dalam loket pembayaran," ujar Tulus.
Baca Juga: Soal Tarif Top Up E-Money, Ketua OJK: Bank yang Kasih Fee Pasti Enggak Laku
Adapun ketetapan BI mengenai tarif uang elektronik tertera dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN).
"Masalah pembayaran cash di tol kita itu sudah sangat tertinggal. Malaysia yang dulu belajar tol sama kita itu sudah lama menggunakan e-toll. Sementara kita baru saat ini. Kita sangat tertinggal tapi karena volume traffic yang sudah sangat crowded maka sebenarnya e-toll ini tidak efektif untuk atasi kemacetan," tandasnya.
(Martin Bagya Kertiyasa)