Sebab PT KAI merupakan BUMN yang harus menghasilkan keuntungan, begitu juga dengan PT MRT selaku BUMD. Karena itu, seharusnya PT MRT melakukan percepatan kerja sama bisnis dengan PT KAI. “Kalau berharap HPL bisa mundur target pelaksanaan, itu pun kalau diberikan. PT MRT segera bentuk perjanjian kerja sama sebelum dana pinjaman dicairkan.
Jadi, kalau ada perubahan tidak seperti MRT Fase I yang butuh dana tambahan di pengujung proyek,” ungkapnya. Adit menuturkan, penambahan dana Rp2,5 triliun pada Fase I seharusnya tidak terjadi, apabila PT MRT memiliki perencanaan matang dan melakukan pengawasan terhadap kontraktor dan subkontraktornya.
Baca juga: Menhub: MRT Akan Beroperasi Maret 2019
Pembangunan jalur layang Fase I mengalami kesalahan teknis akibat kurang bagusnya kerja sama subkontraktor dan kontraktor yang mengharuskan kerja ulang. Dia menyarankan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sebagai pihak berwenang yang membangun transportasi di Jabodetabek harus segera membuat rencana induk integrasi antarmoda transportasi.
Dengan begitu, ketika MRT Lebak Bulus-Bundaran HI beroperasi bersamaan dengan moda transportasi lainnya, efektivitas untuk mengurai kemacetan bisa terlihat. “Di Dukuh Atas sudah terdapat stasiun masing-masing moda transportasi. Ada bus Transjakarta, KRL Commuter Line, MRT, dan LRT Jabodetabek. Itu hanya fisik, sementara integrasi tiket, pengelolaan, dan sistem informasi belum terlihat. Tidak bisa satu-satu operatornya,” ujar Adit.
(Rizkie Fauzian)