BANDUNG – Sejumlah provinsi telah menetapkan besaran upah minimum provinsi (UMP) 2018. Pemprov Jawa Barat, misalnya, menetapkan besaran UMP 2018 sebesar Rp1.544.360,67 sedangkan Pemprov Banten Rp2.099.385,78 dan Sumatera Utara Rp2.132.188,68.
Sementara itu, Pemprov Sumsel menetapkan besaran UMP sebesar Rp2.595.994 atau naik 8,71% dari 2017 sebesar Rp2.388.000. UMP yang akan mulai berlaku 1 Januari 2018 mendatang itu menjadi acuan dalam penentuan besaran upah minimum kabupaten/kota. Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar Ferry Sofwan Arif mengatakan, penetapan UMP mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/ 2015 tentang Pengupahan di mana formula penghitungannya mengacu kepada Pasal 44 ayat 2 PP Nomor 78/2015.
Baca juga: UMP Naik 8,17%, Pengusaha Sebut PHK Tak Terhindarkan
Besaran UMP Jabar 2018 juga telah disepakati Dewan Pengupahan Provinsi Jabar pada 23 Oktober 2017 lalu. Formula penghitungan UMP 2018 berdasarkan perhitungan UMP tahun berjalan atau 2017 ditambah dengan hasil perkalian antara UMP 2017 dan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan serta tingkat pertumbuhan produk domestik bruto tahun berjalan. Dari perhitungan tersebut diperoleh besaran RpRp1.544.360,67 atau naik 8,71% dibandingkan UMP Jabar 2017 yang besarnya Rp1.420.624,29.
“Angka (kenaikan UMP) 8,71% ini merupakan angka (hasil survei) BPS (Badan Pusat Statistik) sehinggabesaranUMP Jabar 2018 Rp1.544.360,67,” jelas Ferry dalam konferensi pers di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung. Ferry menjelaskan, UMP Jabar 2018 akan menjadi jaring pengaman dalam penentuan UMK di kabupaten/kota di seluruh Jabar. Artinya, besaran UMK tidak boleh lebih rendah daripada UMP atau harus lebih tinggi dari UMP.
Baca juga: UMP Jakarta 2018 Rp3,64 Juta, Sandiaga: Keputusan Terbaik untuk Pekerja dan Pengusaha
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto menilai, penetapan UMP/ UMK yang mengacu kepada PP Nomor 78/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13/2003 yang mengamanatkan bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), pertumbuhan ekonomi, dan lainnya. “Sikap kita menolak UMP/ UMK berdasarkan PP Nomor 78/2015. Di samping tidak sesuai dengan UU Nomor 13/ 2003, nilainya (kenaikan sangat kecil, hanya 8,71%). Itu akan membuat daya beli buruh semakin rendah,” jelasnya.