JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai telah menyalahi konstitusi dengan menggunakan Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2016 sebagai landasan hukum holdingisasi BUMN.
"Di dalam PP 72 itu dikatakan bahwa perubahan daripada aset ataupun penambahan kekayaan pemindahan dan sebagainya, itu tidak perlu melalui mekanisme pelaporan kepada DPR. Padahal BUMN kan perusahaan negara yang tentu semua perubahan daripada aset, ataupun penjualan saham dan lain-lain itu harus sepengetahuan atau seizin masyarakat yang diwakili oleh DPR," ujar Bambang Haryo, anggota Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis (23/11).
Seperti diketahui, sektor pertama yang menjadi target pemerintah dalam mengimplementasikan konsep holding BUMN ialah perusahaan-perusahaan negara yang bergerak di sektor pertambangan. Hal diketahui melalui rencana pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa, yang sedianya bakal menghapus status perseroan di PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk pada Senin (29/11).
Baca Juga: Dinilai Strategis, Holding BUMN Tambang Kuasai Bisnis Hulu hingga Hilir
Adapun sektor kedua yang akan menyusul diterapkannya konsep holding BUMN meliputi minyak dan gas bumi, keuangan dan infrastruktur.
Berangkat dari hal itu, tegas Bambang, pemerintah harus menghentikan rencana holdingisasi BUMN sebelum PP 72/2016 direvisi. "Kalau itu dijalankan terus holding tadi sebenarnya manfaatnya apa? Ini belum dijelaskan kepada masyarakat atau yang diwakili oleh DPR," cetusnya.
Baca Juga: Kuasai Saham Freeport, Aset Holding BUMN Tambang Bisa Tembus Rp200 Triliun
Dia menambahkan, pemerintah harus seksama dan tertib di dalam penerapan administrasi khususnya perihal penggunaan landasan hukum. "Sesuai dengan UU 17/2003 dan UU 1/2004, itu adalah seperti itu. Lapor ke DPR. Jadi kalau tetap dilanjutkan maka menyalahi undang-undang. Jadi ini menyalahi konstitusi," imbuh Bambang.
(Dani Jumadil Akhir)