Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Tarif Listrik Non-Subsidi Akan Naik? Ini Fakta-Fakta di Baliknya

Koran SINDO , Jurnalis-Selasa, 30 Januari 2018 |14:45 WIB
Tarif Listrik Non-Subsidi Akan Naik? Ini Fakta-Fakta di Baliknya
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
A
A
A

JAKARTA - Tarif listrik bagi pelanggan non-subsidi disinyalkan akan naik. Saat ini harga tengah dilakukan peninjauan ulang. Ada alasan fundamental yang melatarbelakanginya, yakni komponen harga batu bara yang kini masuk ke dalam perhitungan tarif listrik.

Selama ini yang menjadi acuan penghitungan pemerintah dalam menentukan tarif listrik adalah harga minyak Indonesia. Namun, skema tersebut dinilai sudah tidak relevan lagi dengan keadaan pembangkit listrik yang mayoritas menggunakan energi batu bara. Rencananya harga batu bara acuan (HBA) akan dimasukkan dalam komponen perhitungan tarif listrik.

 Baca juga: Tarif Listrik Non Subsidi Akan Naik? Ini Fakta-Fakta di Baliknya

Berikut ini fakta-fakta di balik sinyal kenaikan tarif listrik non-subsidi, Selasa (30/1/2018).

1. Harga batu bara acuan (HBA) akan dimasukkan dalam komponen perhitungan tarif listrik

Pertimbangan ini didasari oleh porsi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik masih menjadi tumpuan hingga 2026 mendatang. Direktorat Jenderal Ke tenaga - listrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan rencana reformulasi kom ponen per - hitungan tarif listrik tersebut akan berlaku pada Maret 2018.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy Noorsaman Sommeng mengungkapkan, meskipun nanti HBA dimasukkan dalam komponen, tapi hal tersebut tidak menjadikan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP) dihapus dalam komponen perhitungan.

 Baca juga: Tarif Listrik Nonsubsidi Bisa Naik Terimbas Membaiknya Harga Batu Bara

Pasalnya, masih ada pembangkit listrik yang mengguna kan gas dan mengacu pada ICP. ”Sekarang (komponen perhitungan tarif listrik) ICP, kurs, inflasi, tapi nanti harus izin dulu. Ada ketentuannya. Ada faktor inflasi, nilai tukar, ICP, ditambah faktor batu bara. Persentasenya sama saja. Harus dimasuki dong. Kenapa ICP? Karena gas juga. Gas meng acu ke ICP. Katakanlah 24%,” katanya di Jakarta, kemarin.

2. Kementerian ESDM tengah menyiapkan peraturan

Nantinya regulasi yang dikeluarkan akan berbentuk keputusan Menteri ESDM (kepmen). ”Yang mungkin bisa bulan depan atau bulan Maret,”kata Sommeng.

3. Skema ini berlaku bagi pelanggan non-subsidi

Kementerian ESDM memastikan komponen perhitungan ini hanya akan berlaku untuk pengguna listrik tarif penyesuaian (adjustment) yang sebanyak 12 golongan atau pengguna listrik nonsubsidi.

 Baca juga: Produsen Listrik Swasta Dukung Pemangkasan Regulasi yang Hambat Investasi

”Kalau adjustment kan nonsubsidi. Yang 12 tuh. Yang 12 kelompok. Yang jelas pemerintah nggak akan mungkin membuat susah PLN dong. Kalau PLN susah nanti gelap,” kata Sommeng.

4. Pertimbangan Menteri ESDM Ignasius Jonan

Menteri Jonan pernah mempertimbangkan rencana melakukan reformulasi komponen perhitungan tarif listrik di Indonesia.

Selama ini komponen yang menjadi bahan pertimbangan perhitungan tarif listrik antara lain kurs nilai tukar Rupiah, inflasi, dan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP).

”Ini akan di coba untuk reformulasi lagi formula penetapan tarif listrik, bagaimana kalau dengan masuknya harga batu bara. Karena pembangkit kita itu 60% energi primernya batu bara. Jadi hingga 2026 masih dominan pakai batu bara, karena harganya lebih kompetitif, tapi pembangkit nya juga harus yang teknologi nya lebih environment friendly,” ujar Jonan.

5. Selama ini harga minyak masih menjadi faktor utama pengambilan keputusan tarif tenaga listrik

Sementara saat ini porsi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel semakin kecil, sekira 4%. Ditargetkan, hingga 2026 penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel tinggal 0,05%.

"Masa pakai ICP, kalau mau pakai HBA,” kata Jonan.

6. Penggunaaan HBA?

Penggunaan HBA yang akan digunakan pemerintah sebagai komponen perhitungan tarif listrik harus diikuti dengan kebijakan pengaturan di sektor batu bara sebagai energi primer pembangkit listrik.

”Kebijakan itu pasti berpengaruh ya. Apa lagi pemerintah tahun ini ber tekad tidak akan menaikkan tarif listrik,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron ketika dihubungi di Jakarta, kemarin.

Pemerintah, kata dia, harus menerapkan kebijakan kewajiban penggunaan batu bara untuk dalam negeri atau domesticmarket obligation (DMO) sebesar 25% dan menerapkan harga khusus (special price) bagi PLN.

”Kalau tidak, pasti kebijakan ini akan membebani PLN sebagai operator listrik negara. Sebagai gambaran, pada 2016 keuntungan PLN mencapai Rp18 triliun. Tapi kalau kebijakan ini diterapkan dan tidak ada DMO dan special price batu bara, maka keuntungan PLN bisa tergerus menjadi hanyaRp1 triliun-Rp2 triliun saja,” katanya.

7. Harga Batu Bara

Harga batu bara tahun ini diperkirakan masih stabil bergerak di kisaran USD70-USD100 per ton. China masih menjadi aktor utama yang meng gerakkan harga batu bara. Harga berpeluang menguat seiring dengan ekspansi pertumbuhan ekonomi negara tersebut dan intervensi pembatasan pasokan.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara mencatat HBA bulan Desember 2017 turun sekitar 0,8% menjadi USD94,04 per ton, dari USD94,84 per ton pada bulan sebelumnya.

8. Kapasitas Pembangkit Listrik

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional dari batu bara hingga 2016 sebesar 29.880,23 mw dari total 59.656,30 mw. Sedangkan pembangkit listrik diesel hanya sebesar 6.274,79 mw secara nasional.

Sebagai informasi, hingga saat ini perhitungan tarif tenaga listrik masih menggunakan tiga komponen, yakni dari harga minyak mentah Indonesia atau ICP, kurs Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan laju inflasi.

(Sudarsono/Koran Sindo)

(Fakhri Rezy)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement