Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

IMF dan Sistem Ekonomi Indonesia

Koran SINDO , Jurnalis-Senin, 05 Maret 2018 |11:40 WIB
   IMF dan Sistem Ekonomi Indonesia
Ilustrasi: Foto Okezone
A
A
A

JAKARTA - Penilaian bos International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde agaknya telah sedikit melambungkan asa mengenai perkembangan perekonomian Indonesia di masa depan.

Setidaknya dalam pandangan IMF, proyeksi perekonomian kita akan semakin cerah di beberapa tahun ke depan. Hasil dari reformasi struktural, kebijakan belanja yang terfokus, investasi besar-besaran di sektor infrastruktur, pendidikan, dan sosial serta bauran kebijakan jangka pendek akan segera terlihat bagaimana dam paknya terhadap pertumbuhan.

Kekuatan ekonomi kita juga dibilang cukup tangguh untuk mengendalikan munculnya berbagai potensi/risiko sistemik sehingga IMF berani memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi kita akan melesat menjadi 6,5% pada 2022. Namun ada juga pesan tersirat yang perlu dilakukan Indonesia untuk mewujudkan itu semua.

Pertama, mobilisasi kebijakan yang mendorong peningkatan penghasilan negara harus terus diamankan untuk menjaga kekuatan belanja di tahun-tahun berikutnya. Pesan ini seperti “menembak” otoritas perpajakan dan bidang-bidang perekonomian lainnya yang selama ini berfungsi agar proses ekstensifikasi dan intensifikasi pajak bisa dilakukan secara optimal.

Kedua, Indonesia perlu lebih memperhatikan lagi sumber kekuatan uta manya di bidang perekonomian yang terpusat pada kinerja kon sumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.

Reformasi struktural yang digadang-gadang mampu meroketkan pertumbuhan seharusnya dimulai dari dampak positif dan sistemik terhadap kinerja ketiganya. Apalagi dengan kekuatan fiskal yang semakin terbatas, ada baiknya pula jika pemerintah bisa mengendalikan “nafsunya” untuk berbelanja semua kebutuhan secara sekaligus.

Kekuatan belanja kita masih di level rumah tangga sederhana. Jadi kita perlu lebih berhati-hati dalam menyusun kebijakan (belanja) agar tidak layu sebelum berkembang. Dan ketiga, mungkin ini statemen yang bisa dibilang paling menarik.

Demi menggapai kinerja yang baik untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, sekaligus kondisi makroekonomi yang terjaga serta mitigasi risiko sistemik baik dari lingkungan eksternal (global) maupun internal, perlu ada penyegaran sistem ekonomi Indonesia yang lebih dinamis.

Penyegaran yang dimaksud Lagarde mengarah pada bagaimana agar sistem perekonomian kita kian mengakomodasi adanya revolusi digital dan skema kebijakan yang lebih inklusif. Secara normatif memang ada benarnya. Akan tetapi betulkah kita sudah memerlukan adanya sistem ekonomi yang baru? Apa “kesalahan” dari sistem ekonomi yang sudah ada?

Sistem Eksisting

Jika berbicara mengenai sistem ekonomi, dalam kondisi eksisting dunia seakan terbelah menjadi dua kutub besar dalam gaya perekonomian, yakni yang menganut sistem ekonomi kapitalis (liberal) dan penganut sosialis.

Sebagian negara lainnya mengaku menganut campuran keduanya (sistem ekonomi campuran). Namun penulis berani menjamin tidak ada satu negara pun yang mampu betul-betul berdiri di tengah-tengah keduanya.

Secara umum, perbedaan dalam implementasi lebih banyak dipengaruhi tata nilai, perilaku masyarakat, dan norma yang berlaku di negara tersebut. Memang tidak ada yang salah ketika sebuah negara memilih salah satu, misalnya menjadi kapitalis, sosialis, atau bahkan menggabungkan kedua-duanya. Karena semua sistem masing-masing menawarkan ciri khas yang bisa dinilai kelebihan dan/ataupun kelemahannya.

Cara sederhana untuk membedakannya terletak pada seberapa besar peran pemerintah vs pasar (pihak non-pemerintah/swasta) mengelola sumber daya yang dimiliki. Negara kapitalis biasanya dicorakkan pada sektor swastanya yang sangat dominan dalam pergerakan ekonomi, sebaliknya dalam sistem sosialis peran sektor swasta terbilang minor karena pemerintah memegang kendali yang teramat besar dalam kebijakan perekonomiannya. Seiring dengan dinamika yang terus berjalan, mungkin kini tidak ada lagi negara yang secara powerful menjalankan sistem kapitalis atau sosialis.

Amerika Serikat yang dulu getol mengampanyekan liberalisme pada kenyataannya sistem perekonomiannya mulai diintervensi pemerintah secara struktural. China yang dulu dikenal sebagai simbol sosialisme juga semakin lebar membuka keran investasi asing untuk ikut mengembangkan perekonomian negaranya. Karena itu bisa dibilang kini tidak ada lagi negara yang sifatnya kaku dalam sistem perekonomian.

Secara filosofis, ada baiknya jika sistem yang dianut berbasis tata nilai lokal yang memang sudah dikenal dan sedang dijalani oleh masyarakat. Sebuah sistem tidak bisa begitu saja dipaksakan meskipun ketika diterapkan di negara/wilayah lain bisa memberikan kemajuan.

Bagi masyarakat yang pada umumnya masih memiliki budaya gotong-royong, akan sulit dipaksa menjalankan sistem kapitalis yang cenderung bertarung satu sama lain. Kemungkinan terbesarnya mereka justru akan “hancur” karena konsep persaingan yang tidak siap dihadapi. Sama halnya dengan mereka yang terbiasa hidup dalam persaingan, akan sulit dipaksa untuk hidup ala sosialis yang cenderung “sama rasa sama rata”.

Ketika persaingan yang selama ini membuat mereka terus bergerak menjadi yang terbaik mulai mengendur, mereka akan kesulitan untuk mengoptimalkan efforts ekonominya.

Ekonomi kita sering di sebut-sebut lebih berdasarkan pada ajaran Pancasila ketimbang menganut sistem-sistem yang ada di dunia. Entah di mana letak perbedaannya dengan sistem ekonomi campuran, yang jelas roda perekonomian kita secara substansi memiliki roh yang hampir sama dengan sistem campuran.

Di dalamnya kebebasan individu untuk memaksimalkan utilitasnya masih diberi ruang dan pemerintah juga melindungi kaum-kaum yang terbilang marginal dalam perekonomian de ngan berbagai kebijakan sosial (social insurance).

Saat ini persoalan pembangunan di lingkup ekonomi sudah sangat jelas berada di pelupuk mata. Misalnya persoalan ketimpangan (indeks gini dan antarwilayah) serta degra dasi lingkungan yang cukup besar.

Selain itu capaian tingkat pertumbuhan ekonomi kita akhirakhir ini tidak terlalu menggembirakan bila dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya dan ini semakin kompleks saat berlaku era desentralisasi di mana tiap daerah lebih berorientasi pada kepen tingan dae rah masing-masing, tidak melihat dampaknya pada daerah sekitarnya.

Pertanyaannya, apakah permasalahan besar itu bisa diselesaikan dengan merombak sistem ekonomi yang ada? Penulis lebih memilih konteks substansial ketimbang berdebat soal labelisasi sistem yang seharusnya diterapkan di Indonesia.

Terlepas apa pun dogmanya, jika tidak sesuai dengan karakteristik Indonesia yang khas dan multikultural, itu semua (diskusi atau perdebatan) akan menjadi sia-sia. Kita lebih baik memusatkan energi kita untuk segera menuntaskan beragam persoalan struktural. Misalnya terkait upaya untuk menjaga kinerja sumbu utama pertumbuhan ekonomi kita yang berasal dari konsumsi, investasi, dan ekspor agar tetap bergairah.

Negara lebih dibutuhkan tenaganya untuk mengembangkan ketiga sumbu tersebut ketimbang sekadar “menuruti” usulan IMF. Para founding fathers kita selama ini sudah menitipkan warisan yang begitu berharga dengan membangun prinsip dasar UUD 1945 dalam berekonomi dengan mengarusutamakan tindakan partisipatif dan lebih banyak menggunakan sumber daya lokal (SDM dan SDA).

Di luar itu kita dibebaskan untuk mengatur gaya kebijakan secara makro dan mikro, yang terpenting hasilnya bisa efektif dan efisien untuk pembangunan nasional.

Penegakan prinsip dasar UUD 1945 menjadi sangat penting untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan bagi semua kalangan. Kalaupun memang sistem yang ada memang sangat mendesak untuk diperbarui, mungkin hanya beberapa aspek saja yang selama ini memang sudah waktunya dievaluasi. Misalnya terkait kerangka kelembagaan hu kum, tata nilai dan norma yang selama ini menjauh dari sisi efisiensi, keadilan, dan inklu sivitas.

Penulis bersepakat jika atur an-aturan yang selama ini melahirkan biaya ekonomi tinggi segera diganti. Sebalik nya kebijakan-kebijakan yang terhitung masih melindungi kaum-kaum marginal jangan sampai diganggu gugat karena tidak semua masyarakat memiliki keberuntungan dalam berekonomi.

Lini-lini ekonomi yang masih cukup prospektif juga jangan ditinggalkan. Kita memiliki berjuta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mayoritas digerakkan sumber daya lokal.

Jumlahnya juga men jadi mayoritas dari jumlah unit usaha dan tenaga kerja yang terserap. Nah selama ini UMKM juga sering menjadi penyelamat perekonomian kita karena tidak cukup terganggu dengan konstelasi perekonomian global yang sering tidak menentu.

Namun pada waktu men datang daya tahan UMKM bisa saja tergerus seiring semakin menggilanya globalisasi ekonomi. UMKM harus bersiap-siap untuk “berperang” secara vis a vis dengan perusahaan global. Oleh karena itu peme - rintah perlu melindungi agar UMKM bisa terjaga eksistensi.

Salah satu caranya adalah dengan menjaga agar UMKM tetap mampu mengakses input (bahan baku, modal, teknologi, tenaga kerja) dan output (pemasaran) secara bebas. Bahkan kalau bisa juga ada industrial link ages antara UMKM dan industri besar agar masing-masing bisa terspesialisasi dan memaksimal kan sumber dayanya.

Seiring menggeliatnya perekonomian dari bawah, harapan pemerintah untuk memak simalkan penghasilan negara juga akan meningkat dengan bertambahnya jumlah objek pajak pendapatannya di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Tinggal bagaimana cara pemerintah untuk mengamankan potensi-potensi yang ada untuk terus berkembang.

Kesimpulannya, semua sistem ekonomi itu baik selama mampu menghidupkan semangat sumber daya di dalamnya untuk terus memajukan perekonomian suatu negara. Sangat penting diperhatikan bahwa seluruh sumber daya yang dimiliki harus dilibatkan, dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa itu, sistem apa pun yang di terapkan tiada manfaatnya dan pada saatnya akan membawa kehancuran dan kemerosotan bangsa itu.

Candra Fajri Ananda

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement