JAKARTA - Investor asing tengah menanti Rupiah kembali pada titik imbangnya. Saat ini mata uang Garuda memang tengah terpuruk. Mengutip Bloomberg pada Selasa pagi pukul 11.00 Rupiah pada perdagangan spot exchange menyentuh level Rp13.885.
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia Samsul Hidayat mengatakan, selama tiga tahun ini Rupiah mampu bertahan di angka Rp13.000-Rp13.500.
Baca Juga: Rupiah Dibuka Nyaris Tembus Rp14.000/USD
"Apakah kondisi ini akan berkepanjangan, tentunya akan ada rebalancing lagi dari nilai mata uang kita, nah rebalancing-nya ke titik mana, ini kan pertanyaannya," ujarnya di Gedung BEI, Selasa (24/4/2018).
Ketika Rupiah bisa kembali pada titik tersebut, maka Samsul meyakini investor asing akan kembali melakukan rebalancing portofolio. Rebalancing adalah strategi menyesuaikan kembali alokasi portofolio sesuai tujuan investasi investor.
Ketika Rupiah melemah, ada kecenderungan investor asing menarik investasi mereka dari pasar negara berkembang seperti Indonesia kepada pasar negara maju.
"Pada saat rebalancing itulah investor akan mengkalkulasi lagi kebijakan investasi mereka," ujar Samsul.
Baca Juga: Rupiah Dekati Rp14.000, Agus Marto: BI Sudah Intervensi Cukup Besar
Sebelumnya, pantauan Bank Indonesia menyebutkan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, dari awal tahun hingga periode dua sampai tiga hari lalu mengalami depresiasi hingga 2,23%. Akan tetapi, pelemahan Rupiah cenderung lebih baik ketimbang koreksi mata uang negara berkembang lainnya, seperti Brazillian Real (turun 2,81%), Indian Rupee (turun 3,38%), Philippine Peso (turun 4,15%), dan Turkish Lira (turun 6,54%).
Dua negara berkembang yang masih kokoh terhadap Dolar AS adalah mata uang Thailand, Thai Baht yang menguat 4,01% dan mata uang Malaysia, Ringgit Malaysia yang terapresiasi 3,82%.
Bank Sentral menyebut, pelemahan Rupiah disebabkan oleh sentimen global. Pasar melakukan antisipasi atas kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat The Fed yang diyakini akan lebih agresif. Di samping itu, gejolak pasar global juga dipengaruhi kenaikan imbal hasil surat berharga Amerika Serikat (US Treasury) yang hampir mencapai 3,0%.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)