YOGYAKARTA - Indonesia perlu melakukan pembenahan di dalam negeri terlebih dahulu dalam mengimplementasikan industri 4.0. Salah satunya melalui pembenahan sektor hulu serta peningkatan sektor manufaktur.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ngakan Timur Antara mengatakan, industri hulu merupakan sesuatu kritikal yang harus didorong. Untuk itu, pemerintah banyak terlibat dalam pengembangan industri hulu.
“Banyak campur tangan pemerintah dalam industri hulu. Kami melakukan perbaikan dengan memberikan berbagai macam insentif karena industri hulu kita masih lemah,” ujarnya dalam Workshop Pendalaman Kebijakan Industri dengan Wartawan di Yogyakarta.
Ngakan mengatakan, untuk menarik investor masuk ke dalam negeri, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan insentif berupa pemberian Tax Holiday di sektor hulu.
“Pemerintah memberikan suatu peluang bagi swasta berinvestasi di sektor hulu untuk memperkuat industri,” ungkapnya.
Selain insentif, pemerintah juga memberikan kemudahan dalam mendapatkan izin serta keamanan dalam berinvestasi. Hal ini bertujuan agar iklim investasi Indonesia semakin menarik.
“Kita dorong dari dunia usaha dengan insentif yang ada, kemudian memberikan jaminan sehingga struktur industri kita semakin kuat,” tuturnya.
Ngakan menuturkan, banyak negara mulai menata sektor industrinya agar mampu menopang kegiatan perekonomiannya secara menyeluruh. Beberapa negara telah menyiapkan diri untuk penerapan revolusi industri 4.0, antara lain melalui konektivitas yang kuat.
“Oleh karena itu, industri nasional perlu melakukan pembenahan, terutama pada aspek penguasaan teknologi digital yang menjadi kunci utama untuk penentu daya saing dan peningkatan produktivitas di era industri 4.0,” tuturnya.
Menurut dia, revolusi industri 4.0 merupakan sebuah lompatan besar di sektor manufaktur. Implementasi Making Indo nesia 4.0 yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil sebesar 1-2% perthun sehingga pertumbuhannya pertahun akan naik dari baseline sebesar 5% menjadi 6-7% selama tahun 2018-2030.
“Selain itu, angka ekspor netto kita akan meningkat kembali sebesar 10% dari PDB. Kemudian terjadi peningkatan produktivitas dengan adopsi tek nologi dan inovasi, serta mewujudkan pembukaan lapangan kerja baru sebanyak 10 juta orang pada 2030,” katanya.
Pada tahap awal implementasi Making Indonesia 4.0, terdapat lima sektor industri yang diprioritaskan pengembangannya untuk menjadi pionir, yakni industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, serta elektronika.
“Sektor industri prioritas itu diyakini mempunyai daya ungkit besar dalam hal penciptaan nilai tambah, perdagangan, besaran investasi, dampak terhadap industri lainnya, serta kecepatan penetrasi pasar,” kata Ngakan.
(Feb)