JAKARTA - Perubahan gaya berbelanja dari offline menuju tren digital atau online memberikan dampak tersendiri terhadap pelaku ritel konvensional yang menutup gerai usahanya akibat sisi pendapatan yang tidak sesuai dengan target.
Contohnya saja, 7 Eleven, Lotus, dan Debenhams yang tahun lalu sudah menutup gerainya. Disusul dengan beberapa peritel lokal ternama seperti Matahari, dan Ramayana juga memilih untuk menutup beberapa gerainya yang terdapat di daerah.
Menurut pengamat ritel Yongky Surya, bisnis ritel tutup bukan karena minat konsumen rendah, justru bisnis ritel itu tidak ada matinya. Namun, pengusaha harus mengetahui terlebih dahulu apa yang diinginkan konsumen.
Baca Juga: Titik Terang di Balik Gugurnya Bisnis Ritel Indonesia
Saat ini perubahan besar yang terjadi, yaitu banyak munculnya e-commerce dengan segala kemudahan berbelanja. Selain itu, perubahan gaya hidup atau lifestyle yang menginginkan mal atau pusat perbelanjaan sebagai hiburan, bukan lagi berorientasi pada berbelanja. Hal ini terbukti saat Lotus memutuskan untuk menutup 3 gerainya dan SOGO Karawaci baru dibuka.
"Sebenarnya ini hanya strategi bisnis agar kinerja perusahaan menjadi lebih bagus. Ibaratnya mengamputasi yang luka untuk menghidupkan kembali bagian yang lainnya. Ujung-ujungnya kan menaikkan profit biar investor lebih berminat. Karena kalau ekonomi tidak bagus, investor tidak berminat," sebut Yongky.
Ritel modern harusnya bisa lebih berubah mengikuti kebutuhan konsumen. Hal ini karena masyarakat sekarang tidak lagi hanya untuk berbelanja, tetapi ingin merasakan suatu pengalaman baru saat pergi ke pusat perbelanjaan.
Baca Juga: Ada THR dan Gaji ke-13, Sektor Ritel Ditargetkan Tumbuh 10%
Contohnya, berbelanja bisa sekalian pedicure-menicure melihat atau memegang barang yang ingin dibeli, dan hal-hal yang tidak bisa dirasakan saat berbelanja online.
Yongky pun menambahkan, pentingnya untuk terus mengganti perubahan pasar dan kebutuhan konsumen yang harus berkembang adalah kunci bisnis ritel untuk bisa bertahan dan keluar dari tutupnya gerai.
"Kita harus bisa melihat kebutuhan konsumen dengan jeli, kreatif, dan juga inovatif. Jadi, industri ritel offline belum bisa dikatakan padam jika bisa mencoba mengikuti kebutuhan konsumen. Karena pasar online sendiri hanya melihat dari diversifikasi pasar," kata Yongky.
Oleh karena itu, para peritel di Indonesia diharapkan bisa beradaptasi lagi dengan kebutuhan pasar, termasuk dalam menempatkan diri di masyarakat. "Untuk industri ritel jangan pernah putus asa, yang offline harus bisa beradaptasi dan menekankan jati diri toko ritel kita itu di mana posisinya. Memang harus menawarkan ide-ide yang out of the box," katanya.