JAKARTA -Maraknya pelayanan jasa keuangan berbasis teknologi atau yang lazim yang dikenal dengan nama financial technology (fintech), setidaknya mengundang kelompok BUMN akan membuat produk jasa serupa khususnya di bidang pinjaman (Peer to Peer Lending-P2P). Lantas apakah kehadiran LinkAja yang dimotori oleh sejumlah BUMN akan mengganggu pasar OVO dan Go-Pay yang sudah eksis di pasar saat ini?
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda, munculnya LinkAja mampu mengalahkan layanan serupa yang terlebih dulu hadir seperti Go-Pay hingga OVO. Sebab, dengan dukungan pasar dan modal besar, hal ini mungkin saja terjadi.
"Dengan kekuatan dia yang lebih besar, dengan gabungan dari bank-bank BUMN, Telkomsel, Pertamina, dia pasarnya sangat luas. Dia bahkan bisa mengalahkan Gojek (Go-Pay) sama OVO," ujarnya kepada pers, dikutip dari Harian Neraca, di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Baca Juga: Menkominfo Ngaku Sudah Block Fintech Ilegal
Namun, kehadiran LinkAja bukan tanpa kelemahan. Dia menilai LinkAja bisa kontradiktif terhadap pengembangan bisnis fintech di Indonesia. LinkAja bisa saja mengganggu pasar bisnis fintech pembayaran saat ini sedang berkembang pesat dan menarik minat swasta.
"Swasta ini kan lagi tumbuh. Swasta berminat. Ketika swasta berminat, yang terjadi justru swasta diberikan insentif. Kalau BUMN masuk dia jadi disinsentif dong. Kalau disinsentif otomatis tidak ada swasta yang mau masuk. Lesu lah," ujarnya.
Selain itu, yang dia khawatirkan dari masuknya LinkAja, yakni terciptanya persaingan yang tidak sehat. "Kalau untuk top up itu kan biasanya memakai jasa perbankan. Ketika mau top up, ketika bank BUMN punya kepentingan juga, dia bisa saja LinkAja digratiskan tapi di satu sisi, Ovo sama Go-Pay bertarif. Biar pindah ke LinkAja," ujarnya.
BUMN baru-baru ini telah memperkenalkan LinkAja, yang merupakan layanan uang digital. Ini merupakan gabungan dari berbagai layanan uang digital BUMN yang berganti wajah menjadi satu dalam LinkAja.
Nailul mengakui, masuknya LinkAja tidak memberikan dampak yang signifikan. Namun, akan sangat mengganggu fintech yang baru akan masuk. "Fintech seperti Gojek, OVO, dan Dana, dampaknya tidak akan signifikan. Kan dananya masih tinggi, tapi fintech yang baru masuk, ketika dimasuki BUMN, pasarnya siapa lagi nih," ujarnya.
Sebelumnya Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Survey dan Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengatakan, dengan hadirnya LinkAja, akan meramaikan pasar uang elektronik yang saat ini sudah ada. "Kita ikut meramaikan saja, bukan hadir sebagai pesaing. Customer base mereka (Go-Pay, dll) juga belum banyak, sekitar 19 juta," ujarnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Cegah Money Laundering, Fintech Didesak Daftar ke OJK
Menurut Gatot, untuk tahap awal, LinkAja bakal digunakan dalam layanan-layanan perbankan BUMN yang bersifat mandatori, seperti pilihan dalam membayar gerbang tol, parkir di berbagai fasilitas yang dikelola BUMN, dan lain sebagainya. "Potensi pasarnya masih cukup besar. Sekarang sudah terjadi ekosistemnya misal di pembayaran jalan tol, tinggal kita akselerasi peralatan untuk bisa pakai QR code," tutur dia.
Hadirnya LinkAja ini, tujuan utamanya adalah memberikan efisiensi kepada bank-bank BUMN. Dengan begitu, mulai saat ini bank-bank BUMN tidak lagi berinvestasi sendiri-sendiri dalam penyelenggaraan uang elektronik dan sistem pembayaran digital. "Ini kan customer basenya bank-bank BUMN. Bareng bareng promosinya jadi tidak duplikasi," ujarnya.
Selain kehadiran BUMN masuk dalam bisnis Fintech P2P, Astra juga mengumumkan partisipasinya dalam tahap pertama pendanaan seri F Go-Jek dengan investasi sebesar US$ 100 juta. Dengan tambahan investasi tersebut, total investasi Astra pada Go-Jek kini mencapai US$ 250 juta.