JAKARTA - Uni Eropa akan menghentikan sama sekali pemakaian minyak sawit sebagai bahan bakar hayati pada 2030, sebuah langkah yang diprotes Indonesia. Indonesia menilai langkah ini sebagai bentuk diskriminasi, karena bahan untuk biodiesel yang dimiliki UE dianggap tidak kompetitif. Ancaman boikot produk Eropa pun siap dilayangkan Indonesia.
Tahun lalu, ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa hampir lima juta ton, dan lebih dari setengahnya digunakan untuk biofuel. Jumlah itu mencapai empat belas persen dari total ekspor sawit. Namun kini, Uni Eropa bakal menyetop penggunaan sawit untuk biodiesel sebagaimana tercantum dokumen Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II).
Lalu, Indonesia saat ini menyusun rancangan untuk membawa sikap Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia WTO. Tetapi bagaimana sebenarnya awal mula perkara ini? Apakah murni persoalan isu lingkungan atau bisnis? Apa dampak yang dirasakan Indonesia apabila UE benar-benar menyetop penggunaan sawit dari Indonesia?
Berikut enam hal penting terkait protes Indonesia dan ancaman Uni Eropa untuk menyetop penggunaan sawit dari Indonesia:
Baca Juga: RI Gugat WTO soal Diskriminasi Sawit
1. Sikap Uni Eropa, demi isu lingkungan atau persaingan dagang?
Sebanyak 28 negara Uni Eropa sepakat memasukan minyak sawit sebagai kategori tidak berkelanjutan sehingga tidak bisa digunakan untuk biodiesel.
Mereka menyoroti masalah deforestasi alias perusakan hutan akibat adanya budidaya sawit yang masif. Peraturan baru itu akan diuji coba selama dua bulan.
Jika tidak ada yang berkeberatan, Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II) ini akan dipublikasikan dalam jurnal resmi Uni Eropa.
Pelarangan akan berlaku total mulai 2030 dan pengurangan dimulai sejak 2024.
Penggiat lingkungan Eropa menyebut pembukaan lahan yang terjadi akibat perluasan perkebunan sawit menyebabkan gas rumah kaca tidak tidak dapat dinetralisir. Kampanye melawan sawit digaungkan agar negara-negara berhutan tropis seperti Indonesia dan Malaysia berhenti eksploitasi lahan untuk sawit.
2. Mengapa Indonesia menganggap Uni Eropa diskriminatif?
Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menyebut sikap Uni Eropa ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap sawit.
Menurutnya apabila sawit digolongkan bahan baku berisiko tinggi terhadap lingkungan, sejumlah bahan baku asal Eropa juga harus berkategori sama.
"Yang jelas kita merasakan diskriminasi terhadap produk yang tumbuh di negara mereka, seperti sun flower, rapeseed, 'kok tidak digolongkan high risk," katanya kepada Arin Swandari untuk BBC News Indonesia.
Sementara, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Bambang Aria Wisena juga menuding sikap Eropa berlatar persaingan bisnis, lantaran komoditas rapeseed, sangat tidak kompetitif melawan sawit.
Ia menambahkan, "Ini kalau kita masuk, diadu dengan mereka mereka tidak bisa menang, lalu mereka membuat studi yang perhitungan koefisiennya sangat tidak jelas dan merugikan sawit."