JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta kepada Pemerintah agar besaran tarif Moda Raya Terpadu (MRT) harus memperhatikan aspek ability to pay atau kemampuan membayar konsumen.
Bahkan harus ada gambaran konkrit, berapa sebenarnya alokasi anggaran/belanja transportasi calon konsumen MRT, dari total pengeluaran dan pendapatannya.
Hal ini harus diback-up dengan hasil survei yang komprehensif dan meyakinkan. Tanpa memerhitungkan aspek kemampuan membayar konsumen, maka MRT Jakarta akan ditinggal konsumennya, alias tidak laku.
Baca Juga: Tarik Ulur Tarif MRT, dari Rp8.500 Jadi Rp14.000
Tarif MRT Jakarta fase I akhirnya resmi ditetapkan sebesar Rp14.000 dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI) ke Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tarif ini lebih tinggi dari keputusan DPRD DKI yang sebelumnya memutuskan tarif MRT sebesar Rp8.500 per 10 kilometer (km)
“Namun kemampuan membayar ini harus dielaborasi, siapakah mayoritas pengguna MRT? Pemprov juga harus punya data, untuk tujuan apa konsumen memilih menggunakan MRT? Jika tujuannya karena faktor kenyamanan dan efisiensi waktu tempuh maka tarif Rp10.000 juga masih make sense,” kata Tulus dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Di sisi yang lain, managemen MRT Jakarta harus mengeksplorasi pendapatannya bukan hanya mengandalkan pendapatan tiket saja. Tak mungkin revenue dari tiket mampu menutup keseluruhan biaya operasional dan apalagi investasi.