Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Waspadai Dampak Memanasnya Perang Dagang AS-China

Koran SINDO , Jurnalis-Jum'at, 10 Mei 2019 |11:09 WIB
Waspadai Dampak Memanasnya Perang Dagang AS-China
Ilustrasi: Foto Koran Sindo
A
A
A

JAKARTA – Memanasnya kembali perang dagang antara Amerika Serikat (AS) versus China telah berdampak pada pasar keuangan seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak seminggu terakhir telah turun drastis ke level di bawah 6.200. Jika pada 30 April 2019 IHSG masih bertengger di level 6.455, namun pada penutupan perdagangan saham kemarin IHSG terpuruk ke level 6.198.

”Kalau soal Trump dan China, itu urusannya dunia, bukan cuma Indonesia. Artinya, kalau Trump kan kadangkadang enggak bisa diduga, tapi intinya kalau mereka bisa menyelesaikan perang dagang ini, semua akan lebih baik, dunia akan normal. Kalau tidak, ya akan ada tekanan bagi dunia, tidak hanya bagi Indonesia,” ujar Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta kemarin.

 Baca Juga: Dampak Perang Dagang, Harga Sepatu hingga iPhone Naik di AS

Dia menyatakan, akan masih menunggu perundingan yang akan dilakukan oleh beberapa negara mengenai kenaikan tarif impor. Sebelumnya AS mengancam bakal kembali menerapkan tarif tinggi bea impor terbaru terhadap produk-produk asal China senilai USD200 miliar yang bakal berlaku Jumat (10/5) ini apabila negosiasi AS dan China menemui titik buntu.

”Orang kita belum tahu seperti apa persisnya ini semua. Kita tunggu aja dulu. Jangan ditebak- tebak deh. Yang jelas, sekarang ini ekonomi dunia sedang melambat dan bisa melambat lagi kalau dia (Trump) menaikkan tarif ke China,” jelasnya.

Menurut Darmin, pemerintah tetap konsisten membenahi perekonomian dari sisi suplai dalam kerangka perencanaan pembangunan. Gagasan tersebut ditempuh melalui upaya pembangunan infrastruktur, pengembangan SDM, dan perbaikan tata kelola pertanahan.

”Ketiganya adalah persoalan yang perlu dibenahi dari dulu. Kita bukan sekadar mengejar pertumbuhan, tapi juga mendorong pemerataan,” ujarnya. Darmin menjelaskan, negara yang membangun infrastruktur secara besar-besaran pasti memiliki capital outflow ratio yang tinggi.

 Baca Juga: Perang Dagang AS-China Kembali Memanas, Dolar Keok

Artinya, diperlukan modal atau dana yang lebih besar untuk mendorong 1% pertumbuhan. Namun, biaya yang mahal itu akan terbayar dengan pembangunan jangka panjang hingga 30-40 tahun.

Selain dengan terus membangun infrastruktur, pemerintah akan menyandingkannya dengan persoalan SDM dan pertanahan untuk menaikkan angka pertumbuhan. Hal tersebut diyakini dapat melahirkan capital outflow ratio yang lebih rendah.

”Jadi dengan saving yang sama, mobilisasi dana asing yang sama, tapi dengan capital outflow ratio yang lebih rendah, kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” tuturnya.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement