JAKARTA - Pemerintah tengah melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pertanahan. Rencananya RUU tersebut ditargetkan rampung pada September tahun ini.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengatakan, tantangan pemerintah saat ini, dapat menghasilkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang bisa menjawab permasalahan pertanahan dan tata ruang ke depan. Sebab Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang dinilai membutuhkan penyesuaian untuk mengakomodir kondisi, kebutuhan dan dinamika masyarakat yang sudah banyak berubah.
Baca juga: 17 Juta Hektare Lahan di Sumatra dan Kalimantan Bermasalah soal Perizinan
UUPA harus dilengkapi dengan peraturan yang lebih spesialis atau spesifik mengenai perkembangan pertanahan saat ini. Hal ini guna terciptanya keseimbangan tata guna tanah sehingga dapat dinikmati secara baik dan optimal oleh masyarakat maupun negara.
“Yang perlu disampaikan RUU pertanahan memperkenalkan singleland administation tapi tidak berarti bahwa RUU tidak mengambil kewenangan siapa pun,” ujarnya dalam acara konferensi pers di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan Herman Khaeron mengatakan, saat ini, pembahasan telah masuk pada hasil Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang sudah harus disetujui panja. Ditargetkan RUU ini bisa segera rampung pada tahun ini.
Baca juga: Pemerintah Tak Akan Bagi Lahan, Menko Luhut: Yang Lalu Ya Sudah
Sebanyak enam bab yang berisi poin-poin substansial sudah diselesaikan dan menyisakan 9 bab pendukung lain yang diproyeksikan bisa rampung dalam dua bulan ke depan.
Menurut Herman,Undang-Undanf Pokok Agraria yang diterbitkan 1960 sudah sangat tertinggal dan harus segera mengalami penyesuaian. Oleh karena itu lewat beberapa poin penting yang diatur dalam RUU Pertanahan diadakan untjk menjawab perkembangan zaman.
Sebagai salah satu contohnya adalah, selaman ini, sistem pemetaan lahan tidak terintegrasi dalam satu sistem informasi pertanahan. Kemudian, kawasan hutan, pesisir, waduk, pertambangan, cagar alam, situs purbakala, kawasan lindung dan konservasi serta wilayah-wilayah strategis juga tidak masuk ke objek pendaftaran tanah yang membuat data pertanahan tidak optimal.
Baca juga: Ramai soal HGU Prabowo, Begini Cara BPN Kurangi Penguasaan Tanah
"Sistem informasi pertanahan yang terintegrasi akan memudahkan pengambil keputusan, pelaku usaha, masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan lain dalam pemanfaatan dan penggunaan tanah secara optimal," jelasnya
Sebagai informasi, ada enam poin pokok yang masuk dalam RUU tersebut. Keenam poin tersebut yakni, pengaturan Hak Atas Tanah untuk Keadilan dan Kemakmuran, lalu pendaftaran Tanah Menuju Single Land Administration System dan Sistem Postif.
Kemudian ada Modernisasi Pengelolaan dan Pelayanan Pertanahan Menuju Era Digital. Selanjutnya ada Penyediaan Tanah untuk Pembangunan;
Setelah itu ada percepatan Penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan, ditiambah dengan Kebijakan Fiskal Pertanahan dan Tata Ruang. Kemudian ada Kewenangan Pengelolaan Kawasan oleh Kementerian/Lembaga Sesuai Tugas dan Fungsinya dan terakhir Penghapusan Hak-Hak Atas Tanah yang Bersifat Kolonial (Hak Barat).