Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Limbah Batu Bara Ternyata Bisa Dimanfaatkan untuk Produk Industri

Taufik Fajar , Jurnalis-Jum'at, 12 Juli 2019 |21:25 WIB
Limbah Batu Bara Ternyata Bisa Dimanfaatkan untuk Produk Industri
Ilustrasi: Foto Okezone
A
A
A

JAKARTA - Industri manufaktur berperan penting dalam implementasi konsep circular economy atau ekonomi berkelanjutan. Selain akan menjadi tren dunia, konsep tersebut dinilai mempunyai kontribusi besar dalam penerapan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.

Sejalan dengan standar industri hijau yang mampu berperan meningkatkan daya saing sektor manufaktur di masa depan, sesuai implementasi program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0.

 Baca Juga: Jadi Pembangkit Batu Bara Terbesar RI, PLTU Jawa 7 Beroperasi Oktober

Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian Teddy Caster Sianturi mengatakan, fly ash dan bottom ash (faba) sebagai limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga listrik, sebenarnya masih dapat dimanfaatkan lagi menjadi substitusi bahan baku; sebagai substitusi sumber energi; ataupun bahan baku sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Dalam perkembanganya faba dapat diolah menjadi produk lain yang bermanfaat seperti genteng atau produk lain seperti paving block," kata Teddy dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat (12/7/2019).

Masalahnya, kata Teddy prosedur yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlalu rigid, karena didasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 tahun 2014 yang memasukkan faba sebagai limbah B3, dan dilakukan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup.

Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat atau konsentrasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, dan dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

 Baca Juga: PLTU Lontar Serap 2.000 Tenaga Kerja, Asing Berapa Banyak?

Pemerintah sudah beberapa kali menggulirkan sejumlah paket penyederhanaan peraturan dalam bentuk paket kebijakan ekonomi, namun khusus untuk faba masih tetap dikategorikan sebagai limbah B3. Dengan dikategorikan sebagai limbah B3, prosedur yang harus dilalui dirasa sangat sulit oleh pengusaha yang bergerak dalam industri tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut, sejumlah industri seperti TPT, petrokimia, semen, dan pupuk, dan berbagai manufaktur lainnya juga mulai mengganti sumber energinya ke batubara. Termasuk juga PT PLN (Persero) banyak membangun PLTU yang energi primernya adalah batu bara.

Dengan tingginya penggunaan batu bara, maka faba yang tidak termanfaatkan, akan menumpuk menjadi berbentuk gunung. Sementara itu banyak pembangunan infrastruktur yang dapat memanfaatkan FABA sebagai bahan dasar atau campuran, untuk pembangunan jalan dan sebagainya.

“Itu sebabnya, apabila ada arahan, nantinya Kementerian Perindustrian akan berinisiatif mengajukan Peraturan Presiden yang dapat mengakomodasi kepentingan pihak industri. Diharapkan Menteri Koordinator Perekonomian ataupun Menteri Koordinator Maritim dapat mewadahi menteri-menteri terkait. Dengan demikian tujuan pengendalian polusi udara tetap terjaga, tetapi di sisi lain faba juga dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bermanfaat,” papar Teddy.

Sementara itu, Executive Vice President (EVP) Corporate Communication PT PLN (Persero) I Made Suprateka mengatakan, bukan PLTU yang menjadi salah satu pencemar buruknya kualitas udara di DKI Jakarta akhir-akhir ini, mengingat lokasi PLTU dan PLTGU Muara Karang dan juga PLTGU Priok terletak di bagian utara Jakarta. Demikian pula PLTU Batubara Lontar ada di Provinsi Banten.

Perihal radius sebaran dampak emisi PLTU batubara SOX atau NOX terjauh adalah 30 km, dengan asumsi adanya emisi gas buangnya terdekat Batubara Lontar Banten, yang jaraknya 70 km dari pusat kota Jakarta.

Saat ini menurut Made, sejumlah PLTU yang pembangunannya dilakukan baik oleh PT PLN (Persero) ataupun oleh para perusahaan sebagai IPP (Independent Power Producer), kebanyakan sudah menggunakan teknologi berbasis Super Ultra Critical Represitator, di mana debu yang keluar ditangkap dan dapat diendapkan, sehingga dapat dicegah penyebarannya.

Dengan demikian tidak ada lagi sebaran debu, karena volumenya sangat minim (hanya 2%) dari produksi energi batu bara dari operasional PLTU. Dari batubara yang dikonsumsi, maksimal hanya 20% yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Sementara dari 20% PLTU tersebut, hanya 2% yang berpotensi menghasilkan polusi.

“Saat ini sudah berkembang teknologi penangkap debu (Super Ultra Critical Represitator). Hal tersebut dapat disaksikan juga pada Shanghai Energy Power Plant, di mana pembangkit listrik di Shanghai tersebut, tingkat kebersihannya setara atau sama dengan rumah sakit. Ada pun suplai kebutuhan listrik di Indonesia kebanyakan berasal dari PLTU, mengingat belum dapat terpenuhinya kebutuhan energi di lokasi tersebut yang berasal dari EBT,” katanya.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement