JAKARTA - Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan total kerugian industri petrokimia mencapai USD25 juta atau setara Rp375 miliar akibat pemadaman listrik PLN sejak Minggu 4 Agustus 2019.
“Kami terpaksa emergency shut down semua. Untuk seluruh industri petrokimia di Banten dan Jawa Barat terkena semua tanpa terkecuali,” kata Fajar.
Fajar memaparkan, prosedur pematian mesin secara tiba-tiba harus dilakukan saat aliran listrik terputus, demi keamanan.
Baca Juga: Pemadaman Listrik Diperpanjang hingga 18.00 WIB, Ini Wilayah yang Terkena Dampak
“Prosedur selesai dilakukan hingga pukul 03.00 pagi, kemudian sekarang sedang proses cleaning. Setelah selesai, baru butuh tiga hari untuk start up kembali,” tandas Fajar.
Industri petrokimia juga harus mendatangkan sumber daya manusia khusus untuk melakukan pembersihan hingga kembali menghidupkan mesin.
“Kami buang adonan setengah matang, cleaning, man power kami datangi lagi, itu banyak makan waktu,” ungkapnya.
Baca Juga: Perjalanan KRL Dipastikan Normal Sore Ini
Menurut Fajar, pasokan listrik untuk kebutuhan industri petrokimia mutlak dibutuhkan karena tidak dapat dicadangkan, mengingat besarnya aliran listrik yang digunakan.
Fajar menambahkan, hingga Agustus 2019, industri petrokimia telah mengalami pemadaman mesin mendadak sebanyak enam kali akibat gangguan listrik.
Pada 2018 hal tersebut dilakukan sebanyak dua kali. Sementara pada 2017 tidak terjadi pemadaman mesin mendadak karena pasokan listrik yang lancar.
“Kalau enam kali padam berarti kerugian USD25 juta dikalikan enam,” pungkas Fajar, demikian dikutip dari Antaranews, Senin (5/8/2019).
Hal ini membuat pelaku industri petrokimia bertanya-tanya terkait ketahanan PLN dalam mensuplai listrik kepada dunia industri.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan menurut Fajar adalah tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya dalam membangun industri yang padat investasi ini di dalam negeri.
“Yang paling dipikirkan adalah kepercayaan investor. Ini sebetulnya yang harus dijaga,” pungkas Fajar.
(Feby Novalius)