JAKARTA - Para pendukung model cuti tanpa batas berpendapat bahwa metode itu sebenarnya memupuk kepercayaan di antara pegawai dan menghargai keseimbangan kehidupan kerja mereka.
Melansir BBC Indonesia, Jakarta, Minggu (26/1/2020), dalam sebuah artikel tahun 2018, Jenn Burton, seorang manajer personalia di platform virtual Equitas berbasis di San Francisco, AS, menulis, "Seorang pemberi kerja yang menawarkan cuti berbayar tak terbatas pada dasarnya mengatakan kepada karyawannya bahwa kepercayaan adalah landasan organisasi mereka."
Baca Juga: Daftar Negara dengan Jam Kerja Terbanyak, Siapa Juaranya?
Namun, tidak semua perusahaan bisa menerapkan itu sambil mengharapkan kesuksesan.
Jiayi Bao, kandidat doktor yang meneliti strategi sumber daya manusia dan keragaman tempat kerja di Wharton School of Business, University of Pennsylvania, yakin bahwa cuti tanpa batas lebih cocok pada 'tim dengan kohesi yang lebih besar dan ketika perusahaan menyediakan budaya serta sistem yang diperlukan".
Sir Cary Cooper, profesor psikologi organisasi di University of Manchester, menyebut kebijakan itu kerap kali tergantung pada manajemen untuk menciptakan budaya di mana para pekerja merasa nyaman mengambil cuti.
Baca Juga: Diberi Hak Tanpa Batas, Mengapa Sejumlah Karyawan 'Malas' Ambil Cuti?
Banyak pimpinan tidak memiliki keterampilan sosial dan kecerdikan untuk mendeteksi kelelahan karyawan dan mengingatkan karyawan ambisius tentang pentingnya istirahat.
"Alasan mengapa kebijakan ini tidak berjalan, baik di AS, Inggris dan banyak negara maju lainnya, adalah promosi seseorang ke tingkat manajerial berdasarkan kemampuan teknis, bukan keterampilan mereka."
"Kita tidak memiliki banyak manajer lini, bos dari lantai satu ke lantai atas, yang memiliki kecerdasan emosional tinggi," ujarnya.
Melis Gurol, seorang konsultan yang berbasis di New York City, memiliki pandangan yang sama. "Saya memulai perusahaan saya Februari 2017 dan di tahun pertama, saya hanya mengambil satu hari cuti saja."
"Karena kami tidak memiliki aturan jumlah hari cuti tertentu, saya tertekan untuk membuktikan diri saya berpikir seharusnya saya tidak mengambil cuti berhari-hari," kata pria berusia 29 tahun ini.
Lingkungan kerja seperti itulah yang coba dihindarkan oleh Moll, pendiri Authentic Jobs.
"Jika saya menjalankan perusahaan dan seseorang berkata, 'Saya hanya butuh lima hari libur', kondisi apa yang dibutuhkan di perusahaan saya untuk menyarankan agar individu itu hanya boleh mengambil libur lima hari?" kata Moll.
Walau kebijakan cuti minimum tidak hanya berjalan dengan 'kepercayaan' yang ditempatkan pada karyawan, itu bukan model yang cocok untuk semua perusahaan.
Bagi perusahaan yang memiliki puluhan ribu karyawan, melacak cuti individu dan kolektif, apalagi menjadwalkan pemeriksaan liburan individu akan sangat sulit dilakukan.
Meski begitu, Moll menganggap pergantian kebijakan cuti itu tidak sepenuhnya mustahil.
"Ini tentang memberdayakan karyawan dan kita dapat melakukan itu semaksimal mungkin melalui kebijakan liburan dan membebaskan pegawai memutuskan yang mereka ingin dan tidak ingin lakukan dengan cuti mereka."
(Dani Jumadil Akhir)