JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, penghapusan Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) bukan sebuah pemasalahan. Padahal, salah satu yang terdampak adalah Indonesia tak lagi bisa mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP).
GSP merupakan kebijakan AS untuk memberikan keringanan bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Alhasil jika Indonesia kini masuk dalam daftar negara maju, tak lagi bisa menikmati fasilitas tersebut.
Meski hal tersebut akan sangat berdampak pada ongkos ekspor Indonesia ke AS kian tinggi, Airlangga memastikan persoalan perdagangan akan diselesaikan secara bilateral. Menurutnya, kedua negara sedang menyusun perjanjian perdagangan.
Baca juga: Produk AC Diekspor ke Nigeria, Industri Elektronik Tembus Pasar Nontradisional
"Kalau biaya ekspor impor kan ada perjanjian yang sedang di proses. Itu bisa diselesaikan secara bilateral," ungkapnya ditemui di BPPT, Jakarta, Senin (24/2/2020).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada 2018 nilai ekspor Indonesia dari pos tarif yang mendapatkan fasilitas GSP naik 10% dari USD1,9 miliar menjadi USD2,2 miliar.
Sementara pada periode Januari-November 2019, nilai ekspor dengan fasilitas GSP naik 20% dari USD2 miliar menjadi USD2,5 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.