Menurut Nicke, saat ini kondisi yang dihadapi oleh Pertamina tidaklah mudah pandemi virus corona yang menyebabkan anjloknya harga minyak dunia. Sebab, perseroan mencatatkn adanya penuruunan demand akibat adanya pandemi corona dan penerpaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut Nicke, hingga saat ini saja sudah terjadi penurunan demand mencapai 25% secara nasional. Bahkan sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan Bandung mengalami penurunan demand hingga di atas 50%.
"Demand turun drastis nasional. Hingga akhir mei, Penurunan hampir 25% demand kita, ini penjulan terendah sepanjang sjarah pertamina. Ini adalah shock pertama yang kita alami, makin banyak PSBB maka makin turun demand," kata Nicke.
Tak hanya itu, Perseroan juga mengaku tertekan oleh anjloknya harga minyak dunia. Sebab menurut Nicke, Pertamina dituntut untuk menurunkan harga BBM, sedangkan harga minyak hasil produksi di dalam negeri tetap dijual dengan harga yang ditetapkan.
Hal ini berbanding terbalik ketika Pertamina mengimpor seluruh kebutuhan BBM-nya. Namun risikonya, Pertamina harus menghentikan keseluruhan operasi kilangnnya.
"Pendapatan Pertamina 20% dari hulu dan 80% dari hilir. Tapi profitnya itu kebalikan. Jadi ketika harga minyak turun, yang terdampak itu upstream kita. Ketika demand turun maka semuanya terdampak, desain kilang kita dan semuanya adalah desain untuk kondisi normal ketika terjadi penurunan demand signifikan," kata Nicke
Belum lagi lanjut Nicke, pelemahan nilai tukar Rupiah akibat pandemi virus corona ini juga mempengaruhi keuangan perseroan. Mengignat, hampir 93% pengeluaran Pertamina baik itu Capital Expenditure (Capex) maupun Operating Expenditure(Opex) menggunakan dolar.
"93% spending Pertamina baik capex maupun opex dalam dolar tapi kita menjual dalam Rupiah. Ini menimbulkan menjadi tidak imbang, apalagi kita catatkan laporan keuangan dengan dolar jadi dua kali. Exchange loss terjadi dan angkanya sudah kita hitung," ucapnya.
(Dani Jumadil Akhir)