JAKARTA – Pandemi covid-19 menghancurkan perekonomian Jepang. Dalam catatan Tokyo Shoko Research, setidaknya ada 780 perusahaan yang mengajukan pailit selama Juni 2020.
Angka ini menjadi jumlah kebangkrutan terbesar di Jepang sejak 1960-an. Peningkatan ini sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor penutupan pengadilan selama beberapa pekan pada bulan-bulan sebelumnya.
Menurut Tokyo Shoko Research, bulan lalu ada 94 jenis kasus bangkrut yang beragam, dengan bertambahnya jumlah perusahaan yang mengklaim insolvensi, totalnya menjadi 240 kasus pada semester pertama 2020.
Baca juga: Kabar Buruk, Ekonomi Jepang Masuk Resesi
Hal tersebut terlihat dari banyak sektor seperti hotel dan restoran yang sangat terpukul ketika pandemi. Pasalnya, masyarakat Jepang terpaksa untuk tetap tinggal di dalam rumah, serta jumlah wisatawan asing yang berkunjung juga turun drastis.
Dampak merosotnya perekonomian di kalangan bisnis juga sejalan dengan rekor lonjakan pinjaman kredit, serta jumlah simpanan uang di bank pada Juni 2020. Sebab, banyak perusahaan yang terus memanfaatkan fasilitas keringanan kredit darurat, juga tak sedikit yang menimbun uang simpanan.
Baca juga: Fokus Jadi Alasan Perusahaan di Jepang Bertahan Ratusan Tahun
Melansir Solopos, Jumat (10/7/2020), pemerintah Jepang sejauh ini menjanjikan langkah-langkah penanggulangan ekonomi, bernilai sekitar 40% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk bantuan rumah tangga dan perusahaan.
Namun, sebagian besar bantuan ternyata masih sulit tersalurkan, karena kendala administrasi dan kurangnya staf pelaksana operasional. Pemerintah Jepang masih terus berupaya menyalurkan paket bantuan sebesar USD2 triliun (Rp28.834 triliun).
Baca Juga: BuddyKu Fest: Challenges in Journalist and Work Life Balance Workshop
Follow Berita Okezone di Google News
(kmj)