JAKARTA - Sebanyak 10.006 perusahaan di Jepang bangkrut sepanjang 2024. Angka ini terburuk dalam 11 tahun lalu yang mencapai 10.000 perusahaan.
Tokyo Shoko Research melaporkan jumlah kebangkrutan perusahaan dengan kewajiban 10 juta yen lebih di 2024, naik 15,1% dibanding tahun lalu.
Angka tahunan tersebut menandai peningkatan tahun ketiga berturut-turut karena kenaikan harga akibat melemahnya yen dan kekurangan tenaga kerja yang menyebabkan kegagalan bisnis di berbagai industri. Demikian dilansir The Japan Times, Jakarta, Jumat (17/1/2025).
Sementara itu, total kewajiban yang ditinggalkan oleh perusahaan yang gagal pada 2024 menurun 2,4% menjadi 2,3 triliun yen, karena hanya ada satu kasus kebangkrutan dengan kewajiban 100 miliar yen atau lebih, yang melibatkan MSJ Asset Management, sebelumnya Mitsubishi Aircraft, dengan 641,3 miliar yen. Lebih dari 70% perusahaan yang gagal memiliki kewajiban kurang dari 100 juta yen.
Berdasarkan industri, kegagalan bisnis meningkat di delapan dari 10 sektor yang disurvei. Sektor jasa menduduki puncak daftar, dengan 3.329 kebangkrutan, naik 13,2% dari tahun 2023.
Industri konstruksi dan transportasi, yang keduanya menghadapi kesulitan perekrutan yang serius karena aturan lembur yang lebih ketat, mengalami peningkatan angka kebangkrutan masing-masing sebesar 13,6% dan 9,8%.
Jumlah kebangkrutan yang terkait dengan kekurangan tenaga kerja melonjak sekitar 80% menjadi 289, mencapai rekor tertinggi sejak firma riset tersebut mulai menyusun data tersebut pada tahun 2013.
Jumlah kebangkrutan terkait inflasi, atau yang disebabkan oleh perusahaan yang tidak mampu meneruskan kenaikan biaya ke harga, tumbuh untuk tahun kedua berturut-turut menjadi 698.
Sementara itu, jumlah kegagalan penerima pinjaman tanpa bunga dan tanpa jaminan berdasarkan program yang diperkenalkan selama pandemi COVID-19 turun menjadi 567 dari 635 tahun sebelumnya.