JAKARTA — Rencana kenaikan tarif cukai rokok pada 2021 harus dipikirkan secara adil dan bijaksana. Hal ini penting dilakukan agar pelaku industri tembakau khususnya petani dan pekerja sektor sigaret kretek tangan (SKT) tidak makin menderita, terutama di tengah kondisi ekonomi sulit di masa pandemi COVID-19.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan, selama ini pemerintah mengantongi sebanyak 70% dari kontribusi pajak dan cukai industri hasil tembakau.
Menurutnya, target penerimaan negara dari cukai dipatok naik 4,8% menjadi Rp172 triliun. Ini sudah setara dengan 11,9% total penerimaan pajak negara. Belum lagi pajak retribusi daerah 10% dari nilai cukai dan pendapatan PPn rokok.
Setelah kenaikan cukai 2020 mencapai 23% , pabrikan dinilai enggan untuk menaikkan harga jual ke pasaran karena memikirkan daya beli masyarakat. Hasilnya kinerja industri makin terpuruk dan imbasnya kepada petani dan pekerja IHT, belum lagi ditekan dampak pandemi.
“Makanya kalau menurut kami yang perlu dipikirkan para petani dan sektor SKT yang rata-rata perempuan. Kalau mereka kehilangan pekerjaan, kasihan kalau mereka menjadi tulang punggung, Untuk tahun depan, harapannya SKT tidak perlu naik tarif cukai dulu demi prioritas penyelamatan tenaga kerja” ujar Budidoyo di Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Dia berharap pemerintah bersikap rasional dan bijaksana dalam menentukan kebijakan cukai rokok. Jangan sampai kenaikannya terlalu tinggi seperti pada tahun ini yakni 23%. Adapun, selain berkontribusi secara ekonomi, industri rokok juga menyerap tenaga kerja mencapai 5,9 juta orang.
"Apabila satu orang menanggung empat anggota keluarga, berarti ada 20 juta orang menggantungkan hidupnya dari IHT," katanya