JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mencatat, sektor perdagangan Indonesia masih pada zona merah atau mengkhawatirkan. Hal itu dilihat dari surplus perdanganan Indonesia 2020 senilai USD21,7 miliar.
"Hari ini (2020) surplus USD21,7 miliar, itu menurut saya sangat mengahawatirkan. Kenapa? Karena kalau kita lihat di situ ekspornya turun 2,6% meski non migas turun hanya 0,5%. Tetapi impornya turun lebih jahu menjadi 17,3%," ujarnya dalam Webinar Selasa (26/1/2021).
Baca Juga:Â Neraca Dagang Surplus USD21,7 Miliar, Kadin: Stabilitas di Tengah Resesi
Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 2005-2009 itu menyebut, nilai surplus perdagangan tersebut pertama kali paling tinggi sejak 2012 lalu. Meski begitu, secara agregat masih terjadi pelemahan.
Bahkan dia menilai, jika tidak terjadi keseimbangan antara ekspor dan impor atau impor dalam negeri mengalami penurunan secara drastis, maka dikhawatirkan akan terjadi pelemahan-pelemahan terhadap sektor produksi yang menjadi basis konsumsi di dalam negeri.
"Kalau saya lihat lagi ke dalam, apa saja yang menjadi koefisien dari surplus tersebut menunjukan ini terjadi pelemahan karena barang impor kita yang kita impor itu 70,2% adalah bahan baku dan bahan penolong, artinya kalau kita turun 17,3% impor nya, saya takut akan terjadi pelemahan-pelemahan terhadap sektor produksi yang dikonsumsi di dalam negeri," katanya.
Baca Juga:Â Neraca Dagang Surplus Dinilai Fenomena Semu
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada tahun 2020 Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan hingga USD21,74 miliar. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, nilai perdagangan sepanjang tahun 2020 tersebut merupakan yang tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Sebab pada tahun 2011 lalu, nilai neraca perdagangan sepanjang tahun mengalami surplus hingga USD26,06 miliar.
Surplus neraca perdagangan terjadi lantaran nilai ekspor Indonesia yang lebih besar dibandingkan dengan nilai impor. BPS juga mencatat, selama tahun 2020 nilai ekspor Indonesia mencapai USD163,3 miliar.