JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memaparkan makna dari benci produk asing yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah produk impor yang dijual di Indonesia, namun tidak memenuhi tata niaga yang tertib.
Mendag memaparkan sebuah artikel dari World Economic Forum (WEF) tentang seorang pedagang hijab di Tanah Abang yang sebelumnya ia hanya menjadi penjual, kemudian mulai berekspansi dengan menjadi sebuah industri yang memproduksi hijab atau konveksi yang mempekerjakan 3.000 orang.
Baca Juga: Predatory Pricing di E-commerce, YLKI: Pasar Akan Lesu
"Dengan jumlah karyawan 3.000 orang, pedagang itu harus membayar gaji sebesar USD650 ribu atau Rp10 miliar per tahun. Kemudian hijab yang ia produksi, terbaca oleh Artificial Intelligent (AI) milik sebuah perusahaan di luar negeri. Jadi, mereka bisa tahu bentuknya, warnanya kayak apa, harganya berapa," ujar Mendag Lutfi saat menghadiri Rapat Kerja Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang dilansir dari Antara, Jumat (5/3/2021).
Kemudian perusahaan asing tersebut memproduksinya dalam jumlah banyak dan produknya dijual di Indonesia dengan potongan harga yang jauh lebih murah atau sekitar Rp1.900 per buah. Dapat dibayangkan bahwa produk hijab yang dihasilkan oleh anak bangsa akan kalah bersaing dari sisi harga.
Baca Juga: Teknologi Lokal Belum Oke, Jokowi: Silahkan Diambil dari Luar
Padahal, lanjut Mendag, bea masuk yang dihasilkan oleh produk impor tersebut hanya USD44.000 ribu per tahun. Angka tersebut jelas lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya pedagang hijab itu untuk membayar karyawannya yang mencapai USD65.000.
Menurut Mendag, mekanisme perdagangan tersebut tidak boleh terjadi oleh aturan perdagangan internasional, karena tidak memenuhi dua azas perdagangan yang tertib.
"Ini adalah salah satu mekanisme perdagangan yang dilarang oleh international trade. Ini namanya predatory pricing. Ini yang dibenci oleh Pak Jokowi. Kita berdagang itu musti punya dua azas. Pertama adalah adil dan kedua bermanfaat," ujar Mendag Lutfi.