Undang-Undang Mata Uang 1951
Dari sudut moneter, keadaan kembali ke NKRI memungkinkan untuk menyatukan mata uang sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. Secara hukum kesatuan moneter barulah terwujud setelah dikeluarkannya Undang-Undang Mata Uang 1951 untuk mengganti Indische Muntwet 1912.
Undang-Undang Mata Uang 1951 antara lain menyatakan: (i) Semua logam yang dikeluarkan berdasarkan Indische Muntwet dicabut mulai 3 November 1951, kecuali uang uang tembaga yang pencabutannya masih akan ditentukan oleh Menteri Keuangan. (ii) Satuan hitung dari uang di Indonesia adalah rupiah yang disingkat Rp dan terbagi menjadi 100 sen. (iii) Uang logam Indonesia yang merupakan alat pembayaran yang sah adalah dari nikel dalam pecahan 50 sen serta dari aluminium pecahan 25 sen, 10 sen, 5 sen dan 1 sen. (iv) Untuk memenuhi kebutuhan yang mungkin timbul pada suatu waktu, pemerintah dapat mengeluarkan kertas pecahan 1 rupiah dan 2,50 rupiah. (v) Pembuatan uang logam dan uang kertas pemerintah hanya dapat dilakukan oleh atau atas nama pemerintah. (vi) Menteri Keuangan menetapkan desain logam nikel dan alumni, kadar logam uang, berat dan ukuran garis tengah serta batas toleransinya. (vii) Di daerah-daerah tertentu dengan peraturan pemerintah dimungkinkan untuk sementara waktu dilakukan pembayaran dengan uang selain tersebut di atas.
Gunting Sjafruddin
Setelah masa RIS berakhir, perekonomian Indonesia yang terbuka menyebabkan situasi dalam negeri sangat mudah terpengaruh oleh gejolak perekonomian dunia. Pada awal pengakuan kedaulatan, terjadi devaluasi mata uang oleh beberapa negara Eropa Barat terhadap dolar Amerika Serikat dan pecahnya perang Korea. Di sisi lain, pemakaian devisa untuk impor belum meningkat.
Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan Gunting Sjafruddin yang bertujuan untuk menyedot uang beredar yang terlalu banyak serta menghasilkan pinjaman sekitar Rp1,5 milyar dari penerbitan Obligasi Republik Indonesia 1950 karena Indonesia belum mampu mencari sumber pembiayaan dari pasar. Pengguntingan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 19 Maret 1950 kepada uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan Belanda atau uang NICA. Bersamaan dengan itu, pemerintah meluncurkan penerbitan Obligasi Republik Indonesia 1950 sebagai pinjaman pemerintah dengan bunga 3% yang ditawarkan untuk ditukarkan dengan guntingan uang kertas bagian kanan. Bagian kiri uang kertas di atas pecahan f2,50 diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Jadi, nilai uang yang berlaku hanya setengah dari nilai nominal.
Dalam jangka waktu yang telah ditentukan, bagian kiri uang dapat ditukar dengan uang baru yang diterbitkan De Javasche Bank dengan pecahan f2,50, f1 dan f0,50. Pengguntingan uang tersebut dilakukan karena cara yang lazim dilakukan, yaitu dengan penyetoran ke dalam rekening yang dibekukan tidak mungkin dijalankan di Indonesia.