JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) siap menyusun kerangka aturan perdagangan karbon. Hal ini sesuai permintaan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Kami di pasar modal menyiapkan kalau misalnya nanti memang regulasinya ke arah sana. Kita siap sebagai pencapaian dari emisi Indonesia. Kedua, selain persiapan bursa karbon itu sendiri, kita juga butuh persiapan infrastruktur regulasinya. Regulasinya kalau kita lihat dalam Perpres 98 Tahun 2021 itu kan memang belum clear betul, tapi kalau memang pun arahnya policy kebijakan untuk mengarahkan ke pasar modal, mau tidak mau kita mesti siap," kata Kepala Departemen Pengawas Pasar Modal 1A OJK Luthfi Zain Fuady di Jakarta.
Baca Juga: OJK Sebut Aturan MVS Dorong Unicorn Akses Pasar Modal
Sementara itu, Direktur Utama BEI, Inarno Djajadi mengatakan, perdagangan karbon atau carbon trading adalah salah satu inisiatif untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
”Secara pertemuan kita sudah diarahkan untuk menyelenggarakan hal itu. Tentu ini perlu proses dan perlu didiskusikan targetnya kapan dan segala macam. Sebisa mungkin kita sesuai dengan arahan pemerintah sehingga bisa mencapai target dalam dalam dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC," ujar Inarno.
Baca Juga: Investor Milenial Makin Banyak, Penghimpunan Dana di Pasar Modal Rp335,8 Triliun
Pada awal November 2021 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang di dalamnya juga mengatur tentang pasar karbon. Ketentuan itu diyakini bisa mendukung pencapaian target pengurangan emisi GRK di Indonesia sebagaimana tercantum dalam dokumen NDC untuk pengendalian perubahan iklim.
Dalam dokumen pembaruan NDC yang telah disampaikan pada UNFCCC pada Juli 2021, Indonesia berkomitmen untuk mencapai pengurangan emisi GRK sebanyak 41% pada 2030 dengan dukungan Internasional. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat seperti tercantum dalam dokumen Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
Berdasarkan perhitungan LTS-LCCR 2050, Indonesia mampu mengurangi emisi hingga 50% dari kondisi business-as-usual, terutama dengan dukungan Internasional. Perpres Nilai Ekonomi Karbon diharapkan bisa menggerakkan lebih banyak pembiayaan dan investasi hijau yang berdampak pada pengurangan emisi GRK.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)