JAKARTA - Sri Lanka dilanda krisis ekonomi dan utang ke China. Masyarakat Sri Lanka juga dihadapkan dengan tingginya harga-harga barang.
"Harga tabung gas untuk memasak naik hampir dua kali lipat dan kami tidak mampu membelinya lagi," kata Masyarakat Niluka Dilrukshi, dikutip dari BBC Indonesia, Kamis (13/1/2022).
Ibu empat anak berusia 31 tahun ini selalu memasak dengan gas untuk menyiapkan makanan bagi keluarganya, tetapi kayu bakar adalah satu-satunya pilihan.
"Dulu setiap hari saya memasak ikan dan sayuran buat anak-anak saya. Sekarang mereka hanya bisa makan sayuran dan nasi," katanya.
Baca Juga:Â Sri Lanka Bayar Utang Minyak Rp3 Triliun dengan Teh
"Dulu kami makan tiga kali sehari, sekarang kadang-kadang kami hanya mampu makan dua kali," sambungnya.
Dilrukshi dan keluarganya tinggal di pinggiran Kolombo, Sri Lanka. Suaminya adalah buruh harian tetapi melonjaknya harga kebutuhan pokok, terutama makanan, membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan.
Selama empat bulan terakhir, harga tabung gas standar melonjak sekitar 85%, dari USD7,50 (sekitar Rp107.000) menjadi USD13,25 atau sekitar Rp189.000).
Baca Juga:Â Barter dengan Teh, Sri Lanka Akan Lunasi Utang Minyak Iran Sebesar Rp3,6 Triliun
Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Cadangan devisanya turun menjadi sekitar USD1,6 miliar (sekitar Rp22,8 triliun) pada akhir November, hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu.
Utang ke China pun menumpuk hingga melampaui USD5 miliar (Rp71,7 triliun) untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Akibatnya, pemerintah terpaksa membatasi impor beberapa komoditas penting, termasuk bahan makanan, untuk mempertahankan cadangan dolar vitalnya. Langkah ini, ditambah dengan meningkatnya harga bahan bakar dan angkutan, membuat harga kebutuhan pokok seperti susu bubuk dan beras jauh lebih tinggi.