MEDAN - Ritel modern mengaku penjualan minyak goreng meningkat hingga 4 kali lipat. Namun peningkatan penjualan tidak didukung pasokan yang justru menurun, hingga mengakibatkan stok habis dan menyebabkan kelangkaan.
Perwakilan PT Midi Utama Tbk (Alfamidi) Yemima Panggabean mengatakan, pihaknya memetakan permasalahan dalam tata niaga dan distribusi minyak goreng di wilayah Sumut. Yemima menerangkan, sejak Kementerian Perdagangan memberlakukan kebijakan satu harga minyak goreng, Alfamidi sudah mengikuti harga sesuai dengan kebijakan tersebut.
Baca Juga: Harga Minyak Goreng Curah Bikin Pedagang Pusing
Berdasarkan data yang ada, di tanggal 19 Januari 2022, penjualan minyak goreng di outlet naik hingga 400%. Kondisi untuk saat ini, pihak retail sudah mengajukan PO ke distributor dan produsen, namun stok yang dikirimkan masih terbatas.
Sejak Desember 2021, pasokan minyak goreng sudah berkurang sampai dengan 75% dan sampai dengan Januari 2022 terus menurun.
"Untuk menutupi kekosongan barang, kami mencari produsen dan distributor baru untuk minyak goreng kemasan sederhana," kata Yemima, dalam diskusi yang digelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Kantor KPPU Wilayah I Medan, Jumat (4/2/2022).
Baca Juga: Pedagang ke Mendag, Siap Jual Harga Minyak Goreng Rp11.500/Liter
Hal yang berbeda terjadi di pasar tradisional. Menurut keterangan dari Zulfadli dari Perusahaan Daerah Pasar Kota Medan, menyebut pedagang pasar masih menjual minyak goreng stok lama dengan harga beli yang di atas harga eceran tertinggi (HET). Bahkan harga pengambilan minyak goreng curah dari distributor per hari ini masih di harga Rp 18 ribu.
"Artinya, sampai dengan saat ini, pedagang pasar tradisional masih belum mendapat pasokan minyak goreng dari distributor sesuai HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Kondisi yang demikian cukup merugikan bagi pedagang pasar, mereka pun tidak berani membeli stok minyak goreng dalam jumlah besar," sebutnya.
Norman selaku CAGR Manager PT Wilmar menyatakan bahwa pihaknya tetap memproduksi minyak goreng seperti biasa meskipun sampai dengan saat ini belum ada refaksi dari BPDPKS. Pihak produsen masih menunggu kejelasan mengenai refaksi selisih harga keekonomian yang disubsidi oleh pemerintah tersebut. Terkait dengan implementasi kebijakan kewajiban pemenuhan pasokan domestik (DMO) dan kewajiban ketapan harga (DPO), Norman menyatakan bahwa produsen minyak goreng cukup mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku CPO.
"Sulit kami menemukan harga CPO Rp 9.300 sebagaimana yang ditetapkan pemerintah," sebutnya.
Sementara itu secara terpisah, Ekonom Ahli Bank Indonesia Perwakilan Sumatera Utara, Fajar Setiawan, menyebutkan ada kesalahpahaman di tingkat produsen minyak goreng terkait harga beli CPO sesuai DMO dan DPO.
"Harusnya harga Rp 9.300 sebagai bagian dari DPO yang diberlakukan pemerintah, hanya untuk 20 persen DMO yang diwajibkan pemerintah. Bukan justru untuk setiap pembelian dari masyarakat. Ini yang sebenarnya harus disamakan dulu perspektifnya antara pemerintah dan produsen minyak goreng," tukasnya.
(Feby Novalius)