Sementara, dalam pasal 4 dalam huruf f menyebutkan, ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan, yang bertanggung jawab atas Piutang Negara paling banyak sejumlah harta warisan yang belum terbagi, dalam hal Penanggung Utang telah meninggal dunia dan harta warisan belum terbagi.
Ahli waris yang bertanggung jawab atas piutang Negara paling banyak sebesar porsi harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, dalam hal Penanggung Utang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi; dan/atau pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan yang bertanggung jawab atas Piutang Negara sebesar jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau seluruh utang dari Penanggung Utang, dalam hal pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat mantraat dari pelaksanaan kepengurusan harta tersebut.
"Dalam hal Penanggung Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Penjamin Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak memenuhi kewajiban atau tidak diketahui lagi keberadaannya, utang dapat ditagihkan kepada Pihak yang Memperoleh Hak, termasuk kepada: keluarga dalam hubungan darah ke atas, ke bawah, atau ke samping sampai derajat kedua; dan/atau suami/istri," tulis PP tersebut, Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Kemudian dalam pasal 5, piutang negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 mempunyai hak mendahului terkait pembayaran untuk tagihan meliputi pokok utang, bunga, denda, ongkos/biaya lain dan biaya administrasi pengurusan Piutang Negara.
Sementara dalam pasal 32, lelang dilaksanakan terhadap Barang Jaminan/Harta Kekayaan Lain yang telah dilakukan penyitaan terhadap Penanggung Utang yang tidak menyelesaikan utangnya.
"Dalam hal lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terjual, pada lelang berikutnya Penyerah piutang yang menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN dapat menjadi pembeli dalam pelaksanaan lelang tersebut dan hasilnya diperhitungkan sebagai pengurang utang Penanggung Utang," tulis PP tersebut.
(Dani Jumadil Akhir)