Selain itu, dirinya menyoroti alasan dibalik kenaikan tarif cukai yang salah satunya karena angka prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang berada di angka 9,1% di tahun 2018.
Klaim itu seharusnya gugur karena Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis bahwa sejak 2019, prevalensi merokok anak terus menurun. 3,87% pada 2019, turun menjadi 3,81% pada 2020 dan turun menjadi 3,15% di tahun 2021.
"Seharusnya, dengan turunnya prevalensi merokok anak, tak membuat tarif cukai rokok terus dinaikkan apalagi dalam situasi seperti ini," ujar Henry.
Henry juga meyakini, kenaikan tarif cukai hanya menguntungkan rokok ilegal. Pasalnya, gap harga rokok legal dengan ilegal semakin lebar. Jauhnya jarak harga rokok legal dengan ilegal, membuat rokok bodong pun makin marak.
Gappri pun telah beberapa kali memohon audiensi dan menyampaikan masukan kepada Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun belum ada tanggapan.
Henry berharap, melalui keterangan pers resmi ini, Presiden Jokowi dapat meluangkan waktu untuk beraudiensi (berdialog) agar mendengarkan langsung kondisi dan fakta industri hasil tembakau (IHT) legal yang banyak mengalami tekanan berbagai kebijakan sebagai rokok heritage yang kontribusinya sangat strategis bagi negara.
"Audiensi ini kami harapkan dapat mewujudkan kebijakan yang berbasis fakta, adil dan kondusif ke depan bagi kelangsungan usaha IHT legal terutama untuk mengurangi ancaman maraknya peredaran rokok ilegal," imbuh Henry Najoan.
(Feby Novalius)