JAKARTA - Harga minyak naik di akhir perdagangan 2022, di tengah perang Ukraina-Rusia, melemahnya permintaan dari importir utama China dan kekhawatiran kontraksi ekonomi.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari terangkat USD1,86 atau 2,4% menjadi USD80,26 per barel di New York Mercantile Exchange.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret bertambah USD2,45 2,9% menjadi USD85,91 per barel di London ICE Futures Exchange.
Baca Juga: Kapan RI Punya Pabrik Minyak Makan Merah?
Untuk tahun ini, minyak Brent sudah naik sekitar 10%, setelah melonjak 50% pada 2021. Sedangkan minyak mentah AS naik hampir 7,0% pada 2022, menyusul kenaikan tahun lalu sebesar 55%.
Namun kedua harga acuan tersebut turun tajam pada 2020 karena pandemi Covid-19 memangkas permintaan bahan bakar.
Harga melonjak pada Maret karena invasi Rusia ke Ukraina membalikkan aliran minyak mentah global, dengan patokan internasional Brent mencapai USD139,13 per barel, tertinggi sejak 2008. Harga mendingin dengan cepat di paruh kedua karena bank-bank sentral menaikkan suku bunga dan memicu kekhawatiran resesi.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik Dipicu Moskow Bakal Pangkas Produksi
"Ini merupakan tahun yang luar biasa bagi pasar komoditas, dengan risiko pasokan yang menyebabkan peningkatan volatilitas dan kenaikan harga," kata Analis ING, Ewa Manthey, dikutip dari Antara, Sabtu (31/12/2022).
"Tahun depan akan menjadi tahun ketidakpastian, dengan banyak volatilitas," katanya.
Investor pada 2023 diperkirakan akan terus mengambil pendekatan yang hati-hati, mewaspadai kenaikan suku bunga dan kemungkinan resesi.
"Permintaan dan pertumbuhan permintaan akan menjadi pertanyaan nyata karena tindakan keras bank-bank sentral global dan perlambatan yang mereka coba rekayasa," kata Mitra Again Capital LLC, John Kilduff.
Sebuah survei terhadap 30 ekonom dan analis memperkirakan Brent akan mencapai rata-rata USD89,37 per barel pada tahun 2023 atau sekitar 4,6% lebih rendah dari konsensus dalam survei November. Minyak mentah AS diproyeksikan rata-rata USD84,84 per barel pada 2023 atau turun dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu, Analis CMC Markets, Leon Li menilai lonjakan perjalanan liburan akhir tahun dan larangan Rusia atas penjualan minyak mentah dan produk minyak telah mendukung minyak mentah, pasokan yang lebih ketat akan diimbangi tahun depan dengan penurunan konsumsi bahan bakar karena lingkungan ekonomi yang memburuk.
Penurunan minyak di paruh kedua tahun ini disebabkan kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi mendorong dolar AS. Itu membuat komoditas berdenominasi dolar seperti minyak mentah lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Pembatasan nol-COVID di China, yang baru dilonggarkan bulan ini, telah menghancurkan harapan pemulihan permintaan. Importir minyak terbesar dunia dan konsumen terbesar kedua itu pada tahun 2022 mencatat penurunan pertama dalam permintaan minyak selama bertahun-tahun.
Sementara, permintaan minyak China diperkirakan akan pulih pada tahun 2023, lonjakan kasus COVID-19 baru-baru ini telah meredupkan harapan akan dorongan segera dalam pembelian barel.
Dalam indikator pasokan di masa depan, jumlah rig minyak dan gas AS naik 33 persen untuk tahun ini, kata perusahaan jasa energi Baker Hughes Co dalam laporan terbarunya.
(Dani Jumadil Akhir)