Contohnya, ketika Indonesia mengekspor CPO kelima negara (China, India, Pakistan, USA, Malaysia) selalu datanya berbeda antara laporan ekspor yang dirilis baik itu dari Dirjen Bea Cukai maupun Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dengan laporan impor dari negara tujuan.
"Misalnya, laporannya itu ekspor ke negara X tetapi negara tersebut melaporkan bahwa tidak menerima sejumlah besaran volume ekspor yang dilaporkan dari Indonesia. Intinya di sini adalah ada perbedaan data," tukas Didid.
Oleh sebab itu, dia menilai hal Ini mengindikasikan bahwa terjadi kebocoran volume ekspor yang tidak diketahui pemerintah.
Selanjutnya, Didid juga menyoroti soal penentuan harga referensi ekspor CPO Indonesia. Dia bilang nilai harga referensi ekspor CPO pada tahun 2022 relatif lebih rendah daripada harga di MDEX dan/atau Rotterdam.
Artinya, ketika patokan ekspor lebih rendah otomatis pungutan ekspor Indonesia menjadi bisa lebih rendah dari yang seharusnya.
"Otomatis segala macam pajak mulai dari pajak ekspor sampai dengan PPH badannya itu akan lebih rendah. Sehingga ada potensi bahwa negara ini katakan lah tidak menerima dari yang seharusnya. Seharusnya berapa? Nah, ini kita perlu transparansi, salah satunya melalui bursa berjangka itu tadi," pungkas Didid.
(Zuhirna Wulan Dilla)