Untuk formula pembagian kepada daerah-daerah yang akan mendapatkan DBH sawit, 1 provinsi akan mendapatkan 20% dari DBH yang minimal 4% tadi. Sementara itu, kabupaten/kota penghasil memperoleh 60%, dan kabupaten dan kota berbatasan sebesar 20%.
"Dengan demikian, apabila DBH tadi minimal 4% dari sumber dananya, maka proporsi dari penerimaan provinsi yang akan menerima DBH adalah 20% dikalikan 4%, atau 0,8% dari sumber dana untuk DBH tersebut, yaitu PE dan BK," jelas Sri.
Begitu pula dengan proporsi kabupaten/kota penghasil, yaitu 60% dikalikan 4% menjadi 2,4% dan proporsi kabupaten/kota berbatasan 20% dikalikan 4% menjadi 0,8%. Karena jumlah dan harga dari PE dan BK sangat tergantung pada harga dan tarif, maka pihaknya juga mengusulkan diterapkannya batas minimum alokasi per daerah untuk TA 2023 yaitu setiap daerah paling tidak mendapatkan Rp1 miliar per daerah.
"Karena kita lihat di tahun 2022, beberapa bulan PE dan BK itu 0, sehingga penerimaannya 0, sehingga yang menjadi sumber dana untuk dibagihasilkan juga 0. Maka, nanti jumlahnya menjadi terlalu kecil, jadi kami memutuskan ada batas minimum alokasi per daerah minimal mereka mendapatkan Rp1 miliar," ungkap Sri.
Untuk perhitungan alokasi per daerah, akan dibagi menjadi dua. Pertama, berdasarkan formula, tergantung dari luas lahan dan tingkat produktivitas lahan. Yang kedua, berdasarkan kinerja, yaitu perubahan tingkat kemiskinan dan Rencana Aksi Daerah (RAD) Kelapa Sawit Berkelanjutan.
"Berdasarkan data yang dimiliki saat ini, jumlah daerah yang akan menerima DBH sawit adalah 350 daerah, terdiri dari daerah penghasil, daerah berbatasan dengan daerah penghasil, dan provinsi, juga termasuk 4 DOB di Papua,” tambah Sri.
Penyaluran DBH sawit akan dilakukan sebanyak dua tahap dalam satu tahun. Pertama pada bulan Mei sebesar 50% dan Oktober sebesar 50%. "Syarat penyalurannya adalah rencana kegiatan dan laporan realisasi," tutup Sri.
(Taufik Fajar)