JAKARTA — Sederet tantangan pemerintah untuk mencapai target penurunan kemiskinan ekstrem 0%. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan terdapat tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai target penurunan kemiskinan ekstrem hingga 0%.
Apalagi, Akhmad menambahkan, tingkat kemiskinan ekstrem di bulan Mei 2022 masih mencapai 2,04% atau setara dengan 5,56 juta orang. Menurutnya, pemerintah harus benar-benar serius untuk bisa mencapai target tersebut.
“Target pemerintah ini adalah menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem. Ini adalah masyarakat yang belanja per harinya kurang dari USD 1,9 dolar (setara Rp. 28,4 ribu), tentu perlu strategi khusus untuk mencapai target tersebut,” ujar Ekonom CORE, Akhmad Akbar Susamto dalam program Market Review IDX Channel, Rabu (31/5/2023).
Menurutnya, pemerintah harus benar - benar memastikan bahwa 5,56 juta orang tersebut memiliki pendapatan lebih dari USD 1,9 dolar atau setara Rp. 28,4 ribu (asumsi kurs Rp. 14.995). Sehingga masyarakat bisa keluar dari kemiskinan ekstrem tersebut.
Selain itu, strategi dengan pendekatan khusus diperlukan untuk menangani kemiskinan ekstrem. Misalnya, memberikan langsung anggaran perlindungan sosial kepada kelompok tersebut. Pasalnya, Akhmad menilai, itu merupakan langkah pertama yang harus dilakukan agar masyarakat bisa keluar dari kemiskinan ekstrem tersebut.
“Misalnya kita kasih bantuan, tapi kita suruh bantuan anggaran itu untuk digunakan untuk buka warung, sementara kebutuhan mereka adalah untuk makan. Menurut saya, justru mereka harus menggunakan itu untuk konsumsi sehari-hari agar bisa pengeluaran seharinya bisa lebih dari USD 1,9,” bebernya.
Akhmad mengatakan, berdasarkan data yang ada, kemiskinan ekstrem terjadi pada daerah pedalaman atau pedesaan yang tidak tersentuh oleh pembangunan. Sehingga mereka hanya merasakan dampak yang kecil dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif pada beberapa waktu terakhir.
“Memang perlu strategi khusus untuk masyarakat di pedalaman. Salah satunya adalah memastikan bahwa produk yang mereka hasilkan melalui pertanian atau peternakan memiliki nilai ekonomi. Selama ini, masyarakat pegunungan yang menghasilkan singkong hanya akan menjual singkongnya dengan harga yang sangat murah,” pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)