Lantas, setelah beberapa hari jalan ditutup, aparat kemudian membuka palang yang berujung gesekan dengan masyarakat.
"Jadi ini mis-nya sebenarnya di situ. Awal mulanya di situ. Ditambah lagi dengan informasi-informasi yang keluar, yang belum tentu benar. Lahirlah itu gas air mata," katanya.
Bahlil langsung datang ke Rempang untuk melakukan audiensi langsung. Ia menyempatkan diri berdialog dengan warga kampung adat, termasuk mengimami mereka shalat maghrib bersama.
Dalam dialog tersebut, ia mengklarifikasi soal apa yang sebenarnya terjadi serta mengumpulkan aspirasi masyarakat terkait lahan Rempang. Diskusi berlanjut dari pukul 19.00 hingga 22.30 malam.
"Apa permintaan mereka ? Yang pertama, mereka tidak menolak investasi. Mereka sampai mengatakan kiamat lima kali pun, Rempang ini nggak jalan kalau tidak ada investasi. Tapi juga hargai kami masyarakat Melayu, kampung ini karena kami sudah turun temurun (di sini)," katanya.
Masyarakat, lanjut Bahlil, juga tidak ingin direlokasi ke Pulau Galang. Mereka menginginkan tetap berada di Rempang. Mereka pun menuntut hak mereka terkait relokasi, termasuk mata pencaharian sebagai nelayan.
Di sisi lain, masyarakat setempat juga ingin terlibat langsung di dalam investasi, termasuk misalnya menjadi kontraktor atau pemasoknya.
"Mereka juga ingin kuburan-kuburan, kampung-kampung tua itu jangan diapa-apain. Itulah aspirasi mereka," katanya.
Akhirnya, pemerintah pun memenuhi aspirasi masyarakat agar tidak direlokasi ke Pulau Galang, melainkan ke Kampung Tanjung Banon, yang terletak di laut yang sama dan berjarak tidak sampai 1 km.
"Jadi masih di pantai yang sama, kalau lewat darat sekitar 3 km," katanya.
(Taufik Fajar)