JAKARTA - Masih ingatkah dengan kecelakaan kereta api paling mengerikan dan mematikan dalam sejarah Indonesia? Ya, itu terjadi dalam sebuah peristiwa yang disebut Tragedi Bintaro.
Kecelakaan kereta api itu dikenal dengan sebutan Tragedi Bintaro I yang terjadi di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan pada tahun 1987.
BACA JUGA:
Adapun dalam kecelakaan tersebut, rangkaian kereta api Patas jurusan Tanah Abang - Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran (KA 220) bertabrakan dengan kereta api Lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung - Jakarta Kota yang berangkat dari Stasiun Sudimara (KA 225).
Bahkan dalam tragedi ini menelan 139 korban tewas dan 254 orang lainnya luka berat.
Kejadian ini juga tercatat sebagai sebuah kecelakaan paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia.
BACA JUGA:
Proses evakuasi penumpang kereta api saat itu menjadi tantangan berat karena kerasnya tabrakan kereta yang head to head.
Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan bahwa ternyata ada kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran.
Berdasarkan catatan Okezone, Kamis (19/10/2023), Slamet Suradio menjadi masinis untuk KA 225, kemudian ada juga Soleh selaku asisten masinis dan Adung Syafei sebagai kondektur.
Sementara KA 220 dimasinisi oeh Amung Sunarya dengan asisten Mujiono.
Dari Gapeka yang berlaku saat itu, KA 225 dijadwalkan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.40 WIB untuk bersilang dengan KA 220 pada pukul 06.49 WIB.
Namun, pada kenyataanya, KA 225 terlambat 5 menit. Saat itu emplasemen Stadiun Sudimara yang memiliki tiga jalur telah ditafsirkan 'penuh' dan 'tidak dapat menerima persilangan kereta' karena:
- Jalur 1 dalam kondisi buruk dan hanya dipakai untuk langsiran dan sepur sompan
BACA JUGA:
- Jalur 2 berisi KA barang 1035
- Jalur 3 berisi KA 225 yang berhenti
Karena Stasiun Sudimara sudah tidak dapat menerima persilangan antarkereta api, maka KA 225 harus meninggalkan Stasiun Sudimara untuk berhenti lagi di stasiun berikutnya, Kebayoran, dalam kondisi jalur masih tunggal dan tidak memiliki perhentian di antara keduanya. Sesuai dengan peraturan dinas, petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Sudimara wajib:
BACA JUGA:
- Menelepon PPKA Kebayoran untuk meminta izin memindahkan tempat persilangan; dan
- Mengirimkan Surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) yang harus diserahkan langsung ke masinis dan kondektur KA 225.
Namun sayangnya, surat PTP itu diserahkan tanpa memberikan izin terlebih dahulu kepada PPKA Kebayoran.
PTP itu dikirimkan tidak sesuai prosedur karena diserahkan melalui seorang petugas pelayanan kereta api (PLKA) baru kemudian diserahkan kepada masinis dan kondektur KA 225.
Barulah setelah itu, PPKA Sudimara menelepon ke PPKA Kebayoran (Mad Ali) untuk meminta izin pindah tempat persilangan. Mad Ali menjawab, "Gampang, nanti diatur."
Pagi itu, terjadi pergiliran PPKA dari shift malam ke shift pagi. Saat serah terima shift tersebut, Mad Ali yang merupakan PPKA shift malam memberi tahu PPKA shift pagi (Umriyadi) bahwa KA 251, 225, dan 1035 belum tiba di Stasiun Kebayoran.
KA 251 sedang melaju ke arah Kebayoran untuk bersilang dengan KA 220.
Begitu KA 251 berhenti di Kebayoran, Umriyadi meminta izin memberangkatkan KA 220 ke PPKA Sudimara, Djamhari.
BACA JUGA:
Namun, Djamhari menjawab, "Tunggu aman saya, saya lagi sibuk!"
Seharusnya sesuai prosedur yang ada, Djamhari harus menyatakan menolak memberikan izin keberangkatan bagi KA 220 dan mengabarkan bahwa ada kereta api yang harus berangkat dari Sudimara ke Kebayoran sesuai jadwal.
Dalam situasi Djamhari bingung, KA 225 mulai dipadati penumpang, serta banyak yang naik di lokomotif.
BACA JUGA:
Begitu komunikasi antar-PPKA ditutup, Umriyadi justru memberangkatkan KA 220 dengan asumsi bahwa persilangan KA 225 tetap dilakukan di Sudimara.
Agar meyakinkan, Umriyadi menelepon ke Djamhari bahwa KA 220 sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran.
Padahal PTP sudah telanjur diberikan kepada masinis dan kondektur KA 225.
Dengan kebingungan tersebut, Djamhari mengakali masalah ini dengan melangsir KA 225 dari jalur 3 ke jalur 1 Stasiun Sudimara.
Sehingga Djamhari memerintahkan seorang petugas harian stasiun untuk melangsir. Perihal langsiran tersebut harus ditulis oleh PPKA dalam laporan harian masinis serta menjelaskannya secara lisan.
Petugas yang disuruh Djamhari itu pun dengan tangkas mengambil bendera merah dan slompret.
Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena pandangan terhalang penumpang. Sebelum petugas itu mencapai kereta kira-kira 7 m, tiba-tiba kereta mulai bergerak tanpa perintah slompret, dan petugas stasiun berusaha menghentikan KA 225 dengan slompret tetapi usahanya sia-sia.
Bahkan kondektur masih mencoba untuk masuk ke dalam kereta tersebut tetapi tidak memerintahkan untuk menghentikan kereta.
Petugas stasiun itu pun melapor ke Djamhari bahwa KA 225 sudah berangkat tanpa izin.
Dengan cepat Djamhari menggerakkan tuas sinyal masuk pihak Kebayoran tetapi tidak berhasil menghentikan kereta api. Djamhari pun berlari di tengah rel sembari mengibar-ngibarkan bendera merah ke arah KA 225 tetapi gagal menghentikan kereta.
Djamhari pun akhirnya kembali ke Stasiun Sudimara dalam keadaan pingsan.
Kemudian masinis 225 terkejut melihat KA 220 telah berada di depan mata. Meski sudah menarik tuas rem bahaya, tabrakan tak terhindarkan.
Tabrakan ini terjadi pada tikungan S, km 17+252. Total kerugian material yang diketahui berdasarkan laporan akhir PJKA tersebut adalah Rp1,9 miliar.
Korban tewas 139 orang dengan 72 tewas di tempat dan sisanya meninggal sekarat. Dari 139 korban tewas, 113 di antaranya sudah teridentifikasi.
Total 254 luka-luka dengan rincian 170 orang dirawat di rumah sakit dan 84 orang luka ringan.
(Zuhirna Wulan Dilla)