Dwi Andreas memberikan salah satu contohnya seperti yang terjadi pada tahun 2017 silam, ketika Pemerintah memutuskan impor beras sebanyak 2,2 juta ton. Sedangkan pada tahun 2018, produksi petani justru mengalami kenaikan. Hasilnya harga gabah kering panen terus mengalami penurunan yang terjadi selama 3 tahun berturut-turut.
"Kondisi itu akan terjadi lagi di tahun ini, 2024, karena begitu menggebu-gebunya pemerintah mau impor beras, ini yang harus jadi catatan keras kepada pemerintah terkait keputusan impor beras," lanjut Dwi Andreas.
Padahal ketika harga gabah di tingkat petani ini bagus, yang diuntungkan adalah para petani lokal juga, di samping memberikan gairah untuk menjaga produksi, saat harga gabah sedang naik juga menjadi momentum bagi petani untuk menikmati keuntungan yang lebih.
"Seolah-olah kenaikan harga beras tersebut, yang menikmati adalah pedagang besar, penggilingan padi besar, pemain besar. Tapi siapa sebetulnya yang menikmati, sedulur tani, harga yang naik di tingkat konsumen ini di transmisi dengan sangat baik ke petani," pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)