JAKARTA - Pembentukan PalmCo oleh PTPN Group dinilai bisa mempercepat program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam dari perkebunan di masa mendatang.
Ekonom Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB Ujang Sehabudin mengatakan bisnis sawit yang dilakukan PTPN Group selama ini belum terintegrasi dari hulu-hilir atau masih partial.
Hal ini, menurutnya, menjadi salah satu kendala bagi PTPN Group dalam merespons dan beradaptasi dengan kebijakan Pemerintah maupun kondisi pasar yang bergerak begitu cepat dan dinamis, terutama soal hilirisasi.
Padahal, jelasnya, prasayarat dan kunci keberhasilan hilirisasi adalah efisiensi. Untuk itulah, dia mengapresiasi adanya upaya transformasi yang dilakukan BUMN perkebunan dengan rencana merampingkan organisasi yang gemuk menjadi sebuah sub holding yang terintegrasi.
“PalmCo diarahkan menjadi terintegrasi, sehingga rantai nilai yang diperoleh bisa menjadi lebih besar. Struktur organisasi yang gemuk dirampingkan, mindset harus diubah dari orientasi ” pelayanan” menjadi orientasi bisnis yang terintegrasi,” jelas Ujang Sehabudin, menjawab wartawan, di Jakarta.
Dia memaparkan pembentukan PalmCo dapat melakukan efisiensi dari semua aspek, terutama aspek manajemen maupun operasional. Upaya peningkatan efisiensi, antara lain bisnis yang dilakukan PalmCO harus terintegrasi dari hulu-hilir.
Lebih jauh, Ujang Sehabudin menilai pada dasarnya pembentukan PalmCo adalah untuk meningkatkan skala usaha perkebunan sawit, sehingga secara teori akan mendapatkan economies of scale.
Dalam jangka panjang, ujarnya, PalmCO akan menurunkan biaya produksi (decreasing cost), sehingga tentunya dapat meningkatkan penerimaan (increasing return). Kondisi ini tentunya akan mendorong peningkatan potensi profit perusahaan yang pada gilirannya akan meningkatkan devisa negara.
“PalmCo juga dapat mengoptimalkan potensi PTPN Group yang selama ini belum tergarap,” terangnya lagi.
Antara lain, PalmCo dapat mengelola hilirisasi produk turunan sawit yang selama ini belum dikembangkan karena PTPN Group masih terfokus pada minyak goreng, yang mencapai hampir 60%, sedangkan produk turunan lainnya belum disentuh dengan serius.
Selain pada produk tradisional, seperti minyak goreng, menurutnya, hilirisasi juga diarahkan ke industri turunan lainnya yang memiliki nilai tambah lebih, seperti bioetanol dan produk kesehatan/kosmetik, termasuk biomas yang belum disentuh.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)