Selain itu, penerapan atau penegakan regulasi atau peraturan juga jadi tantangan karena hanya 33% organisasi yang meyakini regulasi itu bisa diterapkan atau ditegakkan. Angka ini jauh lebih kecil dibanding rata-rata di Asia yang mencapai 63%. Artinya, penegakan kebijakan atau regulasi terkait sektor sosial di Indonesia jauh lebih sulit dibandingkan negara-negara lain di Asia.
Meski demikian, pendirian atau pendaftaran SDO/Orsos di Indonesia dinilai lebih efisien dibanding negara-negara lain di Asia. Pendirian organisasi sosial di Indonesia hanya butuh waktu 19 hari, sementara di negara-negara lain di Asia butuh waktu rata-rata 123 hari. Namun, prosedur untuk pendaftaran atau perijinan untuk beroperasi sebagai SDO/Orsos di Indonesia dinilai lebih rumit karena butuh 6 dokumen ijin atau rekomendasi dari instansi tertentu sebagai persyaratan.
Sementara prosedur perijinan di negara lain hanya butuh 3 dokumen sebagai persyaratan. Terkait kebijakan perpajakan, Ninik menjelaskan bahwa kebijakan pajak dan fiskal di Indonesia terkait sektor filantropi dan nirlaba tidak mengalami perubahan yang signifikan yang membuatnya tertinggal 3 dibanding negara-negara lain. Laporan DGI 2024 menyebutkan bahwa 17 Negara Asia menawarkan insentif pajak untuk donasi yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun individu. Tarif pengurangan pajaknya sangat bervariasi, dari 0 (nol) hingga 250%.
Meskipun tingkat pengurangan pajak bisa mencapai 100% untuk sumbangan individu dan perusahaan dalam konteks donasi. Namun, kebijakan pajak di Indonesia membatasi jumlah donasi yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak hanya 5% dan hanya berlaku bagi sumbangan wajib keagamaan dan sumbangan untuk isu atau program tertentu.
“Ini yang jadi penyebab insentif perpajakan menjadi kurang efektif, Tak banyak donatur atau OMS yang mengaksesnya karena insentifnya kecil dan terbatas pada bidang atau program tertentu” katanya.
Dari segi kebijakan terkait procurement atau pengadaan barang dan jasa, Laporan DGI 2024 mencatat bahwa kebijakan ini belum efektif di Indonesia karena hanya 25% SDO/Orsos yang disurvei yang memiliki kontrak procurement dengan pemerintah. Jumlah ini jauh lebih rendah dari prosentase rata-rata di Asia yang mencapai 32%. Laporan DGI 2024 juga mencatat hanya 11% organisasi yang mengaku mudah mengakses informasi tentang peluang pengadaan barang dan jasa, sementara sebagian besar sisanya mengalami kesulitan.
Transparansi pelaksanaan tender juga jadi kendala dan tantangan karena hanya 9% yang menyatakan prosesnya sudah transparan.
“Dua faktor inilah yang membuat SDO/Orsos enggan mengikuti proses tender pengadaan barang dan jasa meski pemerintah sudah memberikan peluang dan kesempatan” kata Ninik.
Laporan DGI 2024 juga memotret lanskap pendanaan SDO/Orsos di 17 negara di Asia. Seiring dengan tren penurunan hibah dari lembaga donor internasional, SDO/Orsos mulai beradaptasi dan mengantisipasinya dengan melakukan diversifikasi sumber daya, salah satunya menggalang sumber daya lokal. Di Indonesia, 82% SDO/Orsos menggalang dan menerima sumbangan dari individu dan yayasan amal, 33% mendapat hibah dari pemerintah dan 49% menerima sumbangan dari perusahaan.
Sayangnya, proporsi dukungan pendanaan dari sumber daya lokal ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah hibah dari lembaga donor. Namun demikian, mereka melihat masih terdapat ruang untuk peningkatan donasi dalam negeri asal didukung dengan kebijakan memudahkan dan memberikan insentif.
(Feby Novalius)