Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Krisis Ekonomi, Negara Tetangga RI Kena Jebakan Utang China?

Muhammad Rizky , Jurnalis-Kamis, 25 Juli 2024 |18:54 WIB
Krisis Ekonomi, Negara Tetangga RI Kena Jebakan Utang China?
Laos krisis ekonomi dan terancam gagal bayar utang (Foto: Shutterstock)
A
A
A

JAKARTA — Laos menghadapi gelombang krisis ekonomi di tengah ancaman gagal bayar utang dan inflasi yang melambung. Laos kini berjuang untuk menyeimbangkan kepentingan antara kekuatan besar, terutama China.

Meskipun memiliki mitra ekonomi lain seperti Jepang dan Vietnam, negara kecil ini harus menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kemandirian ekonomi dan diplomatiknya. Apakah Laos mampu mengatasi krisis ini tanpa kehilangan kendali atas masa depannya?

Laos kini terjebak dalam salah satu krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade, dengan inflasi yang melambung tinggi dan ancaman gagal bayar utang yang mengintai. Ekonomi negara ini berada di ambang kehancuran akibat krisis utang yang semakin memburuk, mengancam stabilitas keuangan dan mendekatkan Laos pada kemungkinan default.

Melansir kantor berita DW, Kamis (25/7/2024), Biro Statistik Laos melaporkan pada bulan Juni bahwa inflasi mencapai 23,6%, tertinggi dalam 22 tahun terakhir, yang menyebabkan kelangkaan barang-barang pokok dan menurunnya daya beli masyarakat. Menurut Bank Dunia, total utang luar negeri dan dalam negeri Laos kini telah melampaui USD14,5 miliar atau sekitar Rp235,9 triliun (kurs Rp16.274 per USD) Anushka Shah, Wakil Presiden Moody's Investors Service, menegaskan bahwa Laos berada di ambang gagal bayar.

Cadangan devisa Laos sangat rendah, sehingga para ahli percaya bahwa tanpa bantuan eksternal, negara kecil yang terkurung daratan ini tidak akan mampu memenuhi kewajiban utangnya. Sekitar setengah dari utang luar negeri Laos adalah kepada China, yang memberikan pinjaman untuk proyek-proyek infrastruktur seperti pembangkit listrik tenaga air dan jalur kereta api.

Dengan kondisi yang semakin sulit, perhatian kini tertuju pada bagaimana Beijing akan merespons. Apakah China akan memberikan bantuan atau penghapusan utang? Krisis ini tidak hanya mengancam ekonomi Laos, tetapi juga dapat memengaruhi hubungan diplomatiknya dengan negara-negara lain.

COVID-19 telah menghambat kemajuan negara tersebut. Angka inflasi yang mengkhawatirkan di Laos menjadi tanda terbaru dari badai finansial yang terus menerpa ekonomi negara yang terjerat utang ini. Meskipun sebelumnya Laos menikmati pertumbuhan PDB tahunan sebesar 6-7% selama sebagian besar dekade sebelum pandemi COVID-19, dampak virus tersebut sangat menghancurkan bagi perekonomian negara kecil ini.

Seorang peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Erin Murphy menjelaskan bahwa ekonomi Laos yang kecil membuatnya sangat rentan terhadap guncangan. Pandemi COVID-19 telah merusak upaya pertumbuhan yang ada. Sebagai negara yang terkurung daratan dengan populasi 7 juta jiwa, Laos sangat bergantung pada impor dan ekspor dengan mitra dagang di Asia. Gangguan rantai pasokan dan lonjakan harga makanan serta bahan bakar akibat pandemi telah memberikan tekanan inflasi yang signifikan.

Sementara itu, Manajer Negara Bank Dunia untuk Laos Alex Kremer mengungkapkan bahwa situasi ini semakin diperburuk oleh berbagai faktor, termasuk perang di Ukraina. Banyak warga Laos yang terpaksa melewatkan makan untuk menghadapi situasi yang di luar kendali mereka. Meskipun masyarakat berusaha kembali ke kehidupan normal, mereka menghadapi banyak kesulitan dan banyak yang membutuhkan bantuan.

Krisis ini menyoroti tantangan serius yang dihadapi Laos, di mana inflasi yang terus meningkat mengancam kesejahteraan masyarakat dan mempersulit pemulihan ekonomi pascapandemi.

Jerat utang China

Salah satu faktor yang semakin memperparah krisis di Laos adalah keputusan negara ini untuk terjebak dalam utang besar demi membiayai proyek infrastruktur berskala besar.

"Laos kini berada di bawah pengaruh rencana ekonomi China, baik itu terkait koneksi kereta api maupun pembangkit listrik tenaga air yang bisa diproduksi Laos," ungkap Erin Murphy.

Dalam beberapa tahun terakhir, Laos telah menempatkan dirinya di pusat integrasi perdagangan, ekonomi, dan infrastruktur yang berkembang di subregion Mekong. Bendungan-bendungan di Laos menyuplai listrik untuk negara-negara tetangga yang lebih padat penduduknya, sementara jaringan jalan dan rel yang terus berkembang dapat menghubungkan ekonomi yang sedang tumbuh di kawasan tersebut.

Dengan melakukan proyek-proyek senilai lebih dari USD16 miliar atau sekitar Rp260.422.400.000.000 (kurs Rp16.274 per USD), China kini menjadi salah satu investor asing terbesar di Laos. Proyek besar terbaru adalah jalur kereta China-Laos senilai USD5,9 miliar atau sekitar Rp96.031.940.000.000 (kurs Rp16.274 per USD) yang menghubungkan Vientiane dengan perbatasan China, yang merupakan bagian penting dari inisiatif infrastruktur besar-besaran Belt and Road yang dipimpin Beijing.

Namun, para kritikus memperingatkan bahwa negara-negara miskin seperti Laos berisiko terjebak dalam "jerat utang" China, di mana investor China dapat menguasai aset-aset penting nasional jika negara debitur tidak mampu membayar utangnya. Menurut AidData Lab, total utang publik Laos kepada China mencapai sekitar USD12,2 miliar atau sekitar Rp198.571.470.000.000 (kurs Rp16.274 per USD), jauh lebih tinggi daripada perkiraan Bank Dunia.

Hingga saat ini, Beijing cenderung diam terkait masalah utang Laos. Kedutaan China di Vientiane belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar mengenai situasi ini. Krisis utang yang melanda Laos menunjukkan betapa rentannya negara ini terhadap pengaruh ekonomi asing dan tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai kemandirian ekonomi.

Terlalu banyak yang dipertaruhkan bagi China.

"Laos menghadapi kesulitan ekonomi dan finansial yang sangat besar dan mengkhawatirkan, namun saya rasa China tidak akan membiarkan Laos gagal bayar," ujar Profesor di Sekolah Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Tokyo Toshiro Noshizawa.

Meskipun besarnya kewajiban utang tampak menunjukkan bahwa gagal bayar tidak terhindarkan, faktor geoekonomi membuat prediksi sederhana semacam itu tidak realistis, tambahnya. Sejak 2013, China telah menginvestasikan lebih dari USD800 miliar atau sekitar Rp13.010.400.000.000.000 (kurs Rp16.274 per USD) dalam inisiatif Belt and Road, dengan Laos sebagai sekutu kunci untuk membangun hubungan ekonomi yang lebih kuat di Asia Tenggara.

Dalam konteks ini, gagal bayar utang Laos dapat merusak reputasi China sebagai mitra di dunia yang sedang berkembang, terutama di kawasan ini. "China memiliki banyak kepentingan, baik secara diplomatik maupun ekonomi. Saya percaya mereka akan bersedia campur tangan karena dalam skema yang lebih besar, meskipun Laos memiliki utang yang banyak, jumlahnya tidak sebesar negara lain," tegas Murphy.

Krisis utang Laos ini menyoroti betapa rentannya negara ini terhadap pengaruh luar dan tantangan yang dihadapi dalam upaya mencapai kemandirian ekonomi. Dengan ketidakpastian yang melanda, perhatian kini tertuju pada bagaimana Laos dapat mengelola utangnya dan bagaimana China akan berperan dalam situasi ini.

Upaya Laos dalam menyeimbangkan kekuatan

Dengan cengkeraman Beijing yang semakin kuat dan inflasi yang kian memburuk, Laos kini terjebak dalam dilema sulit antara kekuatan-kekuatan besar. Meskipun China adalah mitra ekonomi utama, Laos memiliki rekam jejak yang mengesankan dalam menyeimbangkan kepentingan berbagai mitra diplomatik.

Jepang telah lama menjadi donor bantuan bilateral terbesar bagi Laos, sementara Vietnam tetap dianggap sebagai mitra keamanan terpenting negara ini. Meski menghadapi masalah ekonomi, Vientiane sejauh ini menghindari pembicaraan dengan kreditor internasional mengenai renegosiasi utang. Selama pandemi COVID-19, Laos memilih untuk meminjam uang baru dari Beijing ketimbang mencari pinjaman dari lembaga multilateral.

Erin Murphy menekankan bahwa Laos seharusnya "dapat mendapatkan manfaat dari semua pihak sambil mengatasi masalah utangnya." Namun, dalam skenario terburuk, jika mitra diplomatik lainnya merasa posisinya terancam oleh pengaruh China, krisis ekonomi Laos bisa berubah menjadi isu geopolitik yang lebih besar.

Krisis ini menunjukkan betapa rumitnya posisi Laos di tengah persaingan kekuatan besar, dan bagaimana negara kecil ini berusaha bertahan di tengah tekanan yang terus meningkat.

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement