Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

PHK Besar-besaran di Indonesia, Penyebab hingga Industri yang Paling Terdampak

Tim Okezone , Jurnalis-Kamis, 12 September 2024 |10:16 WIB
PHK Besar-besaran di Indonesia, Penyebab hingga Industri yang Paling Terdampak
PHK Besar-besaran di Indonesia (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran terjadi di Indonesia. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (kemnaker) ada 46.240 pekerja yang terkena PHK dari Januari-Agustus 2024.

LPEM FEB UI menerbitkan laporan mengenai Labor Market Brief per Agustus 2024 yang membahas PHK di Indonesia. PHK salah satu isu yang selalu menjadi perhatian di Indonesia, terutama dalam konteks ketidakpastian ekonomi dan perubahan regulasi ketenagakerjaan.

Pada tahun 2023, narasi PHK massal semakin sering menghiasi seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah, khususnya setelah penerapan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Labor Market Brief UI ini juga akan mengulas apakah benar ada peningkatan signifikan dalam angka PHK di Indonesia, serta bagaimana regulasi saat ini, khususnya UU Cipta Kerja, mengatur hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja dalam konteks PHK.

Dalam laporannya, PHK massal cenderung mengemuka beberapa waktu terakhir, terutama di saat-saat krisis ekonomi atau perubahan kebijakan besar. Pada tahun 2023, gelombang PHK yang disinyalir meningkat tajam di berbagai sektor, terutama di industri manufaktur dan teknologi. Pandemi COVID-19 yang melanda sejak 2020 telah memperburuk kondisi ini, menyebabkan banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi dengan cara mengurangi jumlah tenaga kerja.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2023 tercatat sebesar 5,35%, yang menunjukkan penurunan dari 5,86% pada Agustus 2022 dan 6,49% pada Agustus 2021.

Meskipun demikian, angka ini terus menurun hingga mencapai 5,25% pada Februari 2024, mencerminkan pemulihan yang berkelanjutan di pasar tenaga kerja. Namun, dampak dari PHK masih sangat terasa di beberapa sektor, terutama di industri yang sangat bergantung pada ekspor dan sektor-sektor yang mengalami tekanan akibat perubahan ekonomi global. Hal ini terutama terlihat di daerah-daerah industri utama seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, yang mencatat angka PHK cukup tinggi sepanjang tahun 2023 dan awal 2024.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2023 tercatat sebesar 5,35%, yang menunjukkan penurunan dari 5,86% pada Agustus 2022 dan 6,49% pada Agustus 2021. Meskipun demikian, angka ini terus menurun hingga mencapai 5,25% pada Februari 2024, mencerminkan pemulihan yang berkelanjutan di pasar tenaga kerja.

Namun, dampak dari PHK masih sangat terasa di beberapa sektor, terutama di industri yang sangat bergantung pada ekspor dan sektor-sektor yang mengalami tekanan akibat perubahan ekonomi global. Hal ini terutama terlihat di daerah-daerah industri utama seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, yang mencatat angka PHK cukup tinggi sepanjang tahun 2023 dan awal 2024.

 

Sementara berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sepanjang Januari hingga Oktober 2023, tercatat sebanyak 237.080 tenaga kerja terkena PHK. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan yang konsisten selama periode tersebut.

Jika melihat lebih rinci, misalnya pada bulan Oktober 2023 saja, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 45.576 orang, yang merupakan peningkatan dari angka pada awal tahun. Selain itu, pada paruh pertama tahun 2024, tercatat 32.064 pekerja mengalami PHK hingga Juni 2024. Ini menunjukkan kenaikan 21,45% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023.

Peningkatan ini terjadi di berbagai provinsi, dengan angka PHK terbesar terjadi di DKI Jakarta (7.469 orang), diikuti oleh Banten (6.135 orang), dan Jawa Barat (5.155 orang) Beberapa sektor ekonomi menjadi penyumbang terbesar dalam peningkatan angka PHK ini.

Sektor manufaktur, terutama yang terkait dengan produksi untuk ekspor, sangat terdampak oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil. Sektor teknologi juga mengalami gelombang PHK karena banyak startup yang mengalami kesulitan pendanaan, yang memaksa mereka untuk merampingkan tenaga kerja.

Adapun PHK yang terjadi dalam beberapa sektor, seperti perbankan dan jasa keuangan, dapat dilihat sebagai konsekuensi dari proses digitalisasi yang telah mengurangi kebutuhan terhadap tenaga kerja manual. Fenomena ini mencerminkan bahwa peningkatan angka PHK bukan semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi makro yang homogen, melainkan juga oleh pergeseran struktural dalam industri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.

Dengan demikian, penyebab PHK di berbagai sektor sangat bergantung pada dinamika sektoral yang spesifik serta kondisi ekonomi yang berlaku, yang berimplikasi pada perlunya adaptasi kebijakan ketenagakerjaan yang lebih responsif dan kontekstual.. Jika dilihat dari sektor industri, beberapa sektor memang mengalami peningkatan PHK yang lebih signifikan dibandingkan sektor lainnya. Berikut adalah beberapa sektor yang paling terdampak:

1. Industri manufaktur, khususnya yang terkait dengan ekspor, sangat terdampak oleh gangguan rantai pasok global dan penurunan permintaan internasional. Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), ribuan pekerja di sektor tekstil dan garmen mengalami PHK sepanjang tahun 2022 dan 2023. Ini terutama terjadi di daerahdaerah seperti Jawa Barat, yang menjadi pusat industri tekstil nasional.

 

2. Sektor teknologi, meskipun secara umum tumbuh, juga mengalami PHK di sejumlah perusahaan startup yang harus melakukan restrukturisasi atau bahkan tutup akibat kesulitan dalam mendapatkan pendanaan baru di tengah penurunan nilai investasi global pada tahun 2022 dan 2023. Beberapa perusahaan teknologi besar di Indonesia, termasuk yang bergerak di bidang e-commerce dan fintech, dilaporkan telah melakukan PHK untuk menyesuaikan operasi mereka dengan realitas pasar yang baru.

3. Sektor perbankan juga mengalami gelombang PHK, terutama sebagai akibat dari digitalisasi layanan yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja di kantor cabang. Banyak bank besar di Indonesia melakukan perampingan tenaga kerja, beralih ke layanan digital untuk efisiensi operasional.

Namun, perlu diakui bahwa tidak semua sektor mengalami PHK dalam skala besar. Beberapa industri justru melihat peningkatan kebutuhan tenaga kerja, terutama di sektor-sektor yang berkaitan dengan kesehatan, teknologi informasi, dan logistik. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sektor teknologi informasi mengalami pertumbuhan permintaan tenaga kerja sebesar 15% sepanjang tahun 2023, seiring dengan percepatan transformasi digital di berbagai industri.

Di sektor kesehatan, khususnya terkait dengan layanan kesehatan jarak jauh (telemedicine), terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 12% di tahun yang sama. Sektor logistik juga mengalami lonjakan permintaan tenaga kerja hingga 18% karena peningkatan aktivitas e-commerce dan distribusi barang selama pandemi serta pasca-pandemi. Oleh karena itu, penting untuk melihat data secara lebih komprehensif untuk memahami dinamika pasar tenaga kerja di Indonesia.

 

Peran Pemerintah Dalam Melindungi Pekerja di Masa PHK

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah regulasi untuk mengatur PHK. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), prosedur PHK diatur dalam pasal-pasal yang relevan:

 

1. Alasan PHK

Pasal 154A UU Cipta Kerja: Menyebutkan alasan-alasan yang sah untuk melakukan PHK, termasuk efisiensi perusahaan, penggabungan atau pemisahan perusahaan, pekerja melakukan pelanggaran berat, dan pekerja yang sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja.

 

2. Negosiasi dan Musyawarah

Pasal 151 UU Ketenagakerjaan (sebagai bagian dari UU Cipta Kerja): PHK harus diusahakan untuk dihindari oleh pengusaha, pekerja, dan/atau serikat pekerja melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Jika musyawarah tidak berhasil, PHK dapat dilakukan dengan syarat pemberi kerja memberikan pemberitahuan tertulis dan membayarkan kompensasi sesuai ketentuan.

 

3. Pemberitahuan Tertulis

Pasal 152 UU Ketenagakerjaan (sebagai bagian dari UU Cipta Kerja): Pemberi kerja wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada pekerja dan serikat pekerja (jika ada) sekurang-kurangnya 30 hari sebelum PHK dilakukan. Pemberitahuan ini harus memuat alasan PHK, waktu efektif PHK, serta hak-hak yang akan diterima oleh pekerja.

4. Kompensasi

Pasal 156 UU Ketenagakerjaan (sebagai bagian dari UU Cipta Kerja): Mengatur tentang kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja yang di-PHK, termasuk pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

 

5. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)

Pasal 46 UU Cipta Kerja: Memperkenalkan skema JKP yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, memberikan manfaat seperti uang tunai, pelatihan kerja, dan akses informasi pekerjaan baru bagi pekerja yang di-PHK.

6. Penyelesaian Sengketa

Pasal 152 dan 153 UU Ketenagakerjaan (sebagai bagian dari UU Cipta Kerja): Jika pekerja merasa dirugikan oleh PHK, mereka dapat mengajukan sengketa PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). PHI akan menentukan apakah PHK tersebut sah atau tidak dan mengatur kompensasi yang harus dibayarkan.

 

7. Pelaporan ke Kemnaker

Pasal 151 UU Ketenagakerjaan (sebagai bagian dari UU Cipta Kerja): Pemberi kerja diwajibkan untuk melaporkan setiap PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan setelah proses PHK selesai dilakukan.

Terkait kompensasi, besaran yang harus diberikan kepada pekerja yang diPHK diatur dalam Pasal 156. Besaran pesangon yang harus diberikan kepada pekerja bervariasi tergantung pada masa kerja pekerja tersebut, dengan rincian umumnya sebagai berikut:

1. Pesangon:

a. Untuk masa kerja kurang dari 1 tahun: 1 bulan upah.

b. Untuk masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun: 2 bulan upah.

c. Untuk masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun: 3 bulan upah.

d. Untuk masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun: 4 bulan upah.

e. Dan seterusnya hingga masa kerja 8 tahun atau lebih, yang berhak atas 9 bulan upah.

2. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK):

a. Untuk masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun: 2 bulan upah.

b. Untuk masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun: 3 bulan upah.

c. Untuk masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun: 4 bulan upah.

d. Dan seterusnya hingga masa kerja 24 tahun atau lebih, yang berhak atas 10 bulan upah.

3. Uang Penggantian Hak:

Uang penggantian hak ini meliputi cuti tahunan yang belum diambil, biaya transportasi, dan tunjangan lainnya sesuai dengan kesepakatan.

Sebagai bagian dari upaya menciptakan lingkungan kerja yang adil dan berkelanjutan, sangat penting bagi masyarakat untuk bersama-sama mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja oleh perusahaan. Pengawasan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk pekerja, serikat pekerja, dan lembaga swadaya masyarakat.

Dengan memantau secara aktif, masyarakat dapat memastikan bahwa perusahaan mematuhi semua ketentuan hukum yang ada, termasuk dalam hal prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pemberian hak-hak pekerja.

Partisipasi aktif ini juga dapat berfungsi sebagai mekanisme penegakan yang efektif untuk mencegah pelanggaran, memberikan dukungan kepada pekerja yang dirugikan, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ketenagakerjaan. Dengan demikian, implementasi UU Cipta Kerja dapat berjalan sesuai dengan tujuan awalnya, yakni memberikan keseimbangan antara fleksibilitas perusahaan dan perlindungan hak-hak pekerja.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement