JAKARTA - Rencana penyesuain tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendapat beragam tanggapan masyarakat. Salah satu kekhawatiran yang muncul, yakni tarif baru pajak tersebut akan berdampak terhadap tabungan masyarakat.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, kenaikan PPN menjadi 12 persen, memang dapat memengaruhi perilaku tabungan masyarakat, terutama melalui dampaknya pada konsumsi rumah tangga dan daya beli.
“Jadi secara keseluruhan tabungan masyarakat berpenghasilan tinggi diperkirakan tidak akan terpengaruh, sementara tabungan masyarakat kelas menengah berpotensi terpengaruh,” ujarnya.
Namun demikian, Pardede menyatakan, pengaruh tersebut tidak sepenuhnya, karena kebijakan PPN, tapi karena isu struktural yang sudah terjadi. “Seperti penurunan jumlah kelas menengah di tengah arus PHK di beberapa industri manufaktur,” tuturnya kepada iNews Media Group, Selasa (24/12/2024).
Menanggapi hal itu, Pemerintah memastikan dampak kebijakan ini terhadap tabungan masyarakat tidaklah signifikan. Sebab, inflasi saat ini masih berada pada rentang yang terkendali.
Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu. Menurut pejabat teras Kementerian Keuangan tersebut, kenaikan PPN tidak akan berdampak signifikan terhadap inflasi.
Menurutnya, tingkat inflasi saat ini masih tergolong rendah di kisaran 1,6 persen. Sedangkan dampak kenaikan PPN ke 12 persen sebesar 0,2 persen.
“Laju inflasi pun akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2024 sebesar 1,5-3,5 persen. “Inflasi saat ini rendah di 1,6 persen. Dampak kenaikan PPN ke 12 persen adalah 0,2 persen. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5-3,5 persen," ujar Febrio dalam keterangannya.
Menurutnya, inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN. Dengan demikian, dampaknya terhadap penurunan tabungan masyarakat juga tidak signifikan.
Selain inflasi akan tetap dijaga, pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5,0 persen. Dia menilai, dampak kenaikan PPN ke 12 persen terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
Tambahan paket stimulus bantuan pangan, diskon listrik, buruh pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan furniture tidak bayar pajak penghasilan setahun, pembebasan PPN rumah, dan lain-lain pun akan menjadi bantalan bagi masyarakat. "Pertumbuhan ekonomi 2025 akan tetap dijaga sesuai target APBN sebesar 5,2 persen," tuturnya.
Penyesuaian Tarif PPN 12 Persen Percepat Tren Pergeseran Konsumsi
Dalam beberapa tahun terakhir, di masyarakat kita telah terjadi pergeseran konsumsi ke tabungan dan investasi, terutama dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) Ritel semakin terlihat.
Bahkan, kata Josua Pardede, kenaikan harga barang konsumsi karena penyesuaian PPN justru dapat mempercepat tren pergeseran konsumsi ke tabungan dan investasi ini, karena masyarakat mencari alternatif seperti menabung atau berinvestasi untuk melindungi nilai uang mereka.
Parede menyebutkan bahwa penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen, yang mulai diberlakukan pada awal tahun depan sebetulnya sudah masuk ke dalam komponen APBN 2025.
Tentu saja kebijakan ini juga sudah dipikirkan betul-betul untuk mendongkrak ekonomi nasional. Sekaligus menghindari kerugian besar terhadap masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Tarif PPN Relatif Rendah
Indonesia selama ini memiliki tarif PPN yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti rata-rata OECD sekitar 19 persen.
Langkah ini juga diiringi asas keadilan, dimana barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum tetap bebas PPN, sehingga beban masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dapat diminimalkan.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen dianggap tinggi oleh sebagian masyarakat, meskipun dampaknya terhadap harga barang secara keseluruhan hanya diperkirakan sekitar 0,9 persen.
Hal ini relatif kecil karena barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, sayur, dan susu tetap dibebaskan dari PPN. Lebih lanjut, sebagian besar kenaikan PPN diterapkan pada barang mewah, seperti daging wagyu, pendidikan internasional, dan layanan kesehatan VIP.
Pardede menjelaskan, kenaikan PPN sering kali terjadi di negara-negara dengan pendapatan per kapita tinggi. Sebab, warga negara dengan pendapatan tinggi memiliki daya beli lebih baik, sehingga dampak kenaikan PPN terhadap konsumsi cenderung lebih moderat.
PPN sering digunakan sebagai sumber utama pendapatan pemerintah untuk mendanai program sosial dan pembangunan yang melibatkan redistribusi kekayaan.
Tarif PPN di negara maju seperti Prancis 20 persen, Inggris 20 persen, dan Jerman 19 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata global dan juga Indonesia 12 persen per 2025.
Indonesia merupakan negara berpenghasilan menengah, dengan Gross Domestic Product (GDP) per kapita pada 2024 diperkirakan mencapai USD5,039 dan diharapkan meningkat menjadi USD5,444 pada 2025.
Penerapan kenaikan PPN ini telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat, karena barang kebutuhan pokok (beras, daging, ikan, sayur-sayuran, susu segar) tetap bebas PPN, sehingga tidak membebani kelompok berpendapatan rendah.
Meskipun tarif PPN Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata global, kebijakan ini mencerminkan langkah untuk meningkatkan ruang fiskal tanpa mengorbankan daya beli kelompok rentan.
(Agustina Wulandari )